Pada pertengahan bulan Agustus
di musim panas,
ketika gemawan menebarkan tirai
abunya di langit,
aku
menapaki jalan pelabuhan, setengah berlari
ditemani
bergulung perkamen yang berayun resah di lenganku
Sambil tergesa, aku menuju sebuah
pondok berlambang Cacudeus
dua
ular yang mencuat kepalanya,
menantang
setiap pengunjung dengan mata merah rubinya yang menyala
Namun Penguasa tak mengizinkanku
tiba tepat waktu
karena
begitu hidungku mencium bau familiar ruh senyawa
ratusan
tombak hujan menghantam tanah berombak
membuatku
cepat-cepat bertepi ke bangunan terdekat
Ah sial, gerutuku dalam hati
mengapa
selalu seperti ini?
saat
pencapaian pengetahuanku mendekati realita
selalu
ada karang batu di tengah-tengah usaha
alhasil
penantian panjanglah yang kuambil, berharap pelangi segera datang