Pada pertengahan bulan Agustus
di musim panas,
ketika gemawan menebarkan tirai
abunya di langit,
aku
menapaki jalan pelabuhan, setengah berlari
ditemani
bergulung perkamen yang berayun resah di lenganku
Sambil tergesa, aku menuju sebuah
pondok berlambang Cacudeus
dua
ular yang mencuat kepalanya,
menantang
setiap pengunjung dengan mata merah rubinya yang menyala
Namun Penguasa tak mengizinkanku
tiba tepat waktu
karena
begitu hidungku mencium bau familiar ruh senyawa
ratusan
tombak hujan menghantam tanah berombak
membuatku
cepat-cepat bertepi ke bangunan terdekat
Ah sial, gerutuku dalam hati
mengapa
selalu seperti ini?
saat
pencapaian pengetahuanku mendekati realita
selalu
ada karang batu di tengah-tengah usaha
Di tengah kegundahan jiwa yang
terkoyak karena kuasa alam,
tak
sengaja mataku menyaksikan pemandangan menyedihkan
seekor
burung camar hinggap di atap bangunan seberang
setelah
separuh nyawanya dipertahankan untuk melindungi separuhnya yang lain
menantang
murka mega
Aku jatuh iba melihat kejadian
singkat itu
namun
kejadian berikutnya menggelitik sukma dalamku
burung
camar itu terbang kembali
berputar
bak bulan yang sumpah setia mendampingi bumi
Tak ayal diriku dihinggapi ruh
ingin tahu
begitu menyaksikan tingkah aneh
si burung
mulut
pun melontarkan pertanyaan jenaka,
“Kau, burung camar, sang
perompak tujuh lautan,
mengapa engkau masih melayang di
atas sana?
Tak terpikirkah olehmu berteduh
pada pelindung hujan?”
Tidak
ada jawaban darinya
Ia
masih berputar, malah semakin tinggi kecepatannya
“Tolong jawab aku, sahabat
angkasaku,
Mengapa kau lakukan hal
demikian?”
Ia kemudian menanggapi lontaran
keduaku
tubuhnya menukik sekuat bintang
melesat melewati dunia malam
dan kakinya menopang tubuhnya
seketika.
Kemudian ia menjawab,
“Wahai
kau, makhluk beradab, makhluk cerdas tertinggi dari segala ciptaan-Nya,
tidak
tahukah kau bahwa langit adalah rumahku?”
Aku terdiam, merenungkan
ungkapannya dalam-dalam.
Lalu mulutku mengutarakan isi
pikiranku lagi,
“Memang
benar rumahmu adalah langit, tapi mengapa kau tidak berteduh?
Lihatlah
Cumulus meratapi penantian panjangnya
menunggu
kembarannya menguasai takhtanya.”
Kali ini raut mukanya berubah
ia mengepakkan sayap kembali ke
udara
dan persis sama waktunya, hujan
semakin lebat
menembus setiap sela sayap
putihnya
dan ia berceloteh,
“O,
makhluk sempurna, betapa naifnya engkau!
Kaummu sungguh bukan pembalas budi yang penuh
syukur.
Seharusnya
lidahmu yang kelu diajarkan cara berucap manis dan berbuah.”
Aku termakan kebingunganku
sendiri.
Kata-katanya seolah merupakan
nasehat pendeta suci biara
Namun aku tak mendapat makna
perumpamaan tersebut.
“Lihatlah
wajahmu sekarang,” teriaknya seiring turunnya varetir,
“kebebalan
hati telah mengganjal mata kebenaranmu.
Kau
takut akan dunia seakan ia telah meninggalkanmu
padahal
kau sendiri yang menyia-nyiakan kemurahan yang diberikannya.
Engkau diciptakan untuk mengatur
alam ini,
tapi apa balasanmu begitu segala
kesempurnaan diberikan atasmu?
Menguasai! Ya, menguasai dengan
tongkat penindas
dan kau masih berharap Sang
Hakim mengampunimu?
Aku
bersukacita atas anugerah air mata surgawi yang tercurah di tanah ini.
Jiwaku
memuliakan Sang Pemberi Hidup,
dan
ruhku penuh dengan rahmat karunia abadi.”
Aku tercekat, menggigil dalam
diam
sementara kata-kata itu merajam
jiwaku yang terdesak.
Dan pikiranku pun seketika
terbuka.
“Ketahuilah,
saudaraku,” ucapnya,
“tidak
ada yang bisa menghentikan penghakiman atas pertiwi
selain
jiwa tulus yang mau bertobat.”
Kemudian ia melesat pergi
meninggalkanku dalam gundah
perih.
0 komentar:
Posting Komentar