Februari 04, 2012

Florentina

    “Hei pelayan, ambilkan aku segelas Beer!”
  
    “Baik, tuan!” jawab wanita itu dengan suara riangnya. Sambil membawa beberapa pesanan para pelanggan, ia meliuk menyusuri setiap jengkal kursi sambil meletakkan minuman-minuman yang diletakkan di atas nampan yang dibawanya. Tubuhnya bak belut bergoyang, langsing nan lincah saat beranjak dari meja ke meja, menawarkan sekaligus mengantar permintaan para pria. Ia menjadi sorotan semua pria di kota itu semenjak menjadi pelayan serbabisa di kedai itu.
  
    Ia jadi primadona kaum adam.
   
    “Kau terlihat sangat cantik, Lorent!”
   
    “Apapun gayamu, kau tetap indah di mataku.”
   
    “Manis, segelas cintamu membuatku mabuk kepayang.”
   
    “Terima kasih.” Begitulah kata-kata yang terpatri dalam mulutnya, dan langsung keluar begitu seseorang memujinya.
   
    Mengumbar senyuman. Pribadi yang hangat. Disayangi semua pelanggan. Diimpikan setiap pemburu asmara. Dambaan insan merana. Penghibur dikala duka. Pembawa kebahagiaan dunia.
   
    Namun, dibenci.... oleh dirinya sendiri...


    Ini bukanlah kemauanku!
   
    Tapi mereka terus menghujamku dengan luka batin. Tak kuasa aku menahan kepedi-han ini, sebab mereka bukan melukaiku, melainkan induk kehidupanku. Alam hidupku dimasa kehampaan. Buah cinta kehidupan. Penopangku dimasa ketakberdayaan. Pelindungku dimasa rapuh. Pemberi kekuatan.
   
    Ibuku!
   
    “Ja-jangan, kumohon,” aku merengek, lebih buruk dari seorang bayi. Lebih memalukan lagi, aku bersujud dan menciumi kaki iblis berewok itu. “Ibuku tak salah apa-apa. Akulah yang harusnya kau hukum, bukan ibuku.”
   
    “Wanita ini salah,” hardik iblis itu dengan suara meninggi. “Salah, karena telah melahirkanmu.” Tanpa ampun, dicambuknya kembali tubuh tua renta itu. Mataku sakit tiap kali tubuh renta itu mengelupas memuntahkan cairan merah dari pori-pori kulitnya. Lebih menyakitkan lagi, mendengar jeritan pasrah saat badan cambuk menghantamnya, membuat telingaku pekak dan nyeri.
   
    “Hentikan, kumohon, kasihanilah dia!”
   
    “Diam kau, bocah sialan.” Tak tahan dengan rintihan permohonanku, tangannya melayang menampar pipiku. “KALAU KAU INGIN IBUMU SELAMAT, TURUTILAH PERINTAHKU DAN JANGAN MEMBANGKANG!”
   
    Ini sungguh perih. Apakah tak ada pilihan ketiga bagiku?
   
    “Baik, baik..., akan kulakukan perintahmu,” anggukku seraya berlinangan air mata. “Tapi jangan kausiksa lagi ibuku!”
   
    “Huh,” dengusnya sambil mendorong ibuku hingga membentur dinding. “Cepat sedikit.”
   
    Enggan, aku mengikuti perintah yang diberikannya beberapa menit lalu. Aku benci kehidupan ini! Mengapa dunia berlaku tak adil bagiku dan ibuku? Jeratan takdir ini semakin mempersempit laju napasku hingga aku tak punya waktu menghirup udara bebas.
   
    Demi ibu.... demi ibu.... aku seperti ini.



    Lorent memasukkan gelas-gelas kotor ke dalam bak cuci.
   
    Hari ini pelanggan membludak. Entah mengapa kedai ini kian ramai seiring berlalunya hari. Meski para wanita juga hadir memenuhi meja-meja kosong, jumlah kuota terbanyak pelanggan setia kedai ini adalah para pria. Ini menjadi pertimbangan sang pemilik kedai, bahwasanya kedai ini begitu digemari penikmat minuman semenjak Lorent bertugas di sini.
   
    “Kau adalah berkah, Lorent.” Kata bosnya suatu hari, ketika bosnya ingin berbincang empat mata dengannya.
   
    “Terima kasih, tuan,” seperti biasa, jawaban itu yang terlontar dari mulutnya. “Tapi saya rasa bukan saya yang membuat kedai ini kian melonjak.”
   
    “Ah, kau terlalu merendah,” sahut bosnya seraya menggeleng. “Tidakkah kau perhatikan? Mereka menyukai gaya pelayananmu. Keramahanmu, senyumanmu, wajah ceriamu, semua yang ada padamu mereka kagumi. kau telah menarik perhatian mereka.”
   
    “Ehm, saya rasa..., begitu.”
   
    “Nah, kau juga mengerti maksudku kan? Aku ingin kau pertahankan ciri khasmu ini, dan kau akan mendapat gaji tambahan serta kenaikan pangkat.”
   
    “Be, benarkah..., tuan?”
   
    “Tanganku terbuka untukmu, pelayanku yang menawan.”
   
    Kata-kata majikannya itu terus terngiang dalam pikirannya. Hatinya membumbung tinggi. Ia diperlakukan majikannya dengan baik, apalagi setelah bergelar ‘pelayan primadona’ dari para pelanggan, menciptakan sukacita dan menenteramkan pikirannya. Ia menemukan kebahagiaan dalam hidup.
   
    Selesai di dapur, ia keluar dan berdiri di samping meja bartender, menunggu bila seseorang meminta sesuatu darinya. Ia melebarkan pandang ke segala penjuru ruangan, hingga akhirnya berhenti tepat pada sosok pria yang menempati meja nomor sepuluh. Tanpa sadar, wajahnya mengeras menampilkan sisi tak lazim dari dirinya. Dunia sekelilingnya seakan memudar menjadi pola tak beraturan menyisakan ruang untuknya dan pria yang ditatapnya itu.
   
    Ia berubah seperti keinginannya.


     Ini bukanlah keinginanku!
   
    Aku harus menanggalkan derajatku hanya agar aku dan ibuku bisa selamat dari muka iblis berewok itu. Berkali-kaliaku dipermalukan, bahkan tak jarang diperolok sambil dilempari benda apapun – benda keras lebih sering. Sakit bercampur marah, sedih membaur luka, menimbulkan tekanan jiwa dalam rohku. Aku selalu menangis setiap malam usai mengerjakan tugas terkutuk itu. Apa gunanya kau mengasi? Kenapa aku jadi begini?
   
    Kenapa aku menangis?
   
    Setidaknya, ibuku dapat kujadikan sandaran ketika gundah gulana. Kata-kata bijaknya menghanyutkanku sampai ke alam mimpi. Belaian kasihnya membuatku bertahan, sebab ia percaya kebebasan akan datang melumpuhkan kejahatan dan membawa serta kami menuju kebahagiaan. Aku ingin mempercayai pandangan itu.
   
    Namun rasanya itu mustahil!
   
    “Malam ini, kau tidak mendapat jatah.” Teriak iblis berewok itu saat kuminta bagianku. “Kerjamu tidak becus.”
   
    “Lalu, kami harus makan apa?” tanya ibuku, tak mampu membendung air matanya terlalu lama.
   
    “Cih, urus saja sendiri! Aku tak peduli!”
   
    Kejam nian, tak berperasaan.
   
    Malam ini, kami terpaksa menahan rintih ulu perut kami. aku menangis sejadinya, membayangkan iblis itu dengan kejinya membiarkan kami kelaparan seperti ini. Aku bekerja untuknya, dan imbalanku?
   
    “Bu.... aku tak tahan lagi.” Rengekku sembari menenggelamkan kepala pada pelukan ibu.
   
    “Maafkan ibu, Nak,” isak tangis ibu menciptakan kegetiran dalam hatiku. “Ibu tak bisa berbuat apa-apa. Ibu menjadi beban untukmu.”
   
    Tidak, bu..., ibu tidak seperti itu!
   
    Aku sayang ibu, melebihi apapun di dunia ini. Aku telah berjanji kepada almarhum bapak utnuk menjaga dan membahagiakan ibu. Tapi aku malah membuat ibu terus berdukacita. Aku yang salah bu, anakmu yang tak berguna ini!
   
    Tuhan, berapa lama lagi cobaanmu ini menimpa kami?


   
    Mentari mengucapkan salam perpisahan di ufuk barat.
   
    Sore bermega jingga menciptakan suasana kedai makin teduh dan damai. Beberapa pelanggan yang terpuaskan dengan sajian nikmat minuman beranjak menuju keindahan alam petang. Kedai ini tutup pada pukul delapan tepat, sungguh aneh mengingat kedai ini begitu diminati. Karenanya, ketika waktu sore berlalu tergantikan hitamnya malam, kedai terlihat bagai bangunan sepi. Namun masih ada satu pelanggan di sana, menikmati saat-saat terakhir minumannya...
   
    Pelanggan di meja nomor sepuluh.
   
    Malam semakin mendesak pemilik kedai untuk segera menutup kedainya. Anehnya, pelanggan itu tetap saja diam di kursinya, tak terganggu dengan kondisi sekeliling yang berubah drastis. Akhirnya sang pemilik kedai mendekati pelanggan itu untuk menjelaskan perihal kedainya yang akan segera tutup. Pada saat tulah, Lorent mencegahnya.
   
    “Biar saya saja yang tangani, tuan.” Sergahnya seraya merentangkan tangan menghambat langkah bosnya. “Lagipula malam ini giliran saya bertugas membersihkan kedai.”
   
    “Iya, tapi – “
   
    “Tuan boleh pulang duluan,” potongnya. “masalah kunci, biar saya saja yang akan mengantarnya langsung kerumah tuan sehabis ini.”
   
    Sang pemilik kedai langsung mengangguk. “Hmm, baiklah. Kuserhkan dia padamu. Tapi hati-hati, ya.”
   
    “Iya, tuan.”
   
    Sang pemilik kedai beserta pegawai-pegawainya yang lain mendahuluinya, melambaikan tangan dan meninggalkannya di kedai, bersama si pelanggan terakhir. Lantas ia mendekat ke meja sepuluh, tempat si pelanggan terakhir terdiam.
   
    “Maaf tuan, tapi kedai sudah mau tutup.” Jelasnya kepada pria itu.
   
    “Hmm, aku tahu itu,” ucap pria itu, menatap lekat-lekat Lorent yang masih mengenakan seragam pelayan. “Aku sengaja pulang paling akhir karena..., aku tertarik padamu.”
   
    “Benarkah, tuan?”
   
    “Kau terbaik di kedai ini,” puji pria itu seraya merentangkan tangan ke arahnya. “Semua orang memujamu. Karena itu, aku disini untuk mengadakan perjanjian padamu.”
   
    “Mengadakan perjanjian?” ulang Lorent. “Perjanjian apa, tuan?”
   
    “Ah, sederhana saja..., bisnis kecil-kecilan.”
   
    Mata Lorent tak luput dari mata pria itu. Perkataan terakhir si pria mengingatkannya pada sesuatu. Kata-kata dari pria misterius beberapa tahun lalu.
   
    Tiba-tiba perasaan itu kembali menyeruak dalam hatinya.
   
    “Berhentilah dari pekerjaanmu disini dan jadilah pelayanku di kasinoku.” Ujar pria itu.
   
    “Ehm...”
   
    “Kenapa? Kau tertarik dengan penawaranku?”
   
    Sebenarnya ia bukan bingung, melainkan sedangmemikirkan sesuatu.
   
    “Oh, atau begini saja,” kata pria itu mencoba memberikan penawaran lain, berharap wanita belia itu mau menerimanya. “Aku akan beri kau waktu selama seminggu. Selama itu pikirkan baik-baik tawaranku ini, sebab aku tak menjamin akan adanya penawaran kedua.” Jelasnya bersemangat. “Namun sebelum perpisahan ini, izinkan aku mengenalmu lebih dekat.”
   
    “Mengenal saya?” Lorent terbelalak mendengar permintaan tiba-tiba tersebut.
   
    “Bolehkah aku melirik sebentar loker pribadimu? Ya, anggap saja ini upayaku untuk mengenalmu lebih dalam.”
   
    “Ehm...” Lorent tampaknya kebingungan akan permintaan aneh lagi dari pria itu. Hingga daatnglah sebuah ide brilian. “Hmm, boleh, silakan kalau anda ingin melihat-lihat loker gani saya. Silakan, lewat sini!”
   
    Sang pria mengekor tepat di belakang Lorent. Ia sepertinya tak sabar ingin mendapatkan pelayan menawan itu bekerja dalam kasino miliknya.
   
    Sementara Lorent melangkah sembari menatap lurus ke depan.
   
    Wajahnya berubah garang ala seorang wanita.

   
    CTARR! CTARR! CTARR!
   
    “Hentikan. Jangan siksa ibuku lagi, dia bisa mati.”
   
    “Malah bagus mati sekalian,” pekik iblis berewok. Ia tak henti-hentinya mengarahkan cambuk terkutuk itu pada tubuh ibuku yang terikat seperti domba sembelihan. “Kalian berdua memang tak tahu diuntung!”
   
    CTARR! CTARR!
   
    “Hentikaaaan!”
   
    Suaraku meninggi, namun serak terdengar telinga. aku menggeliat-geliat kesetanan berusaha melepaskan kekang dari tangan dan kakiku. Hasilnya nihil, tali kekangannya kuat sekali. Aku hanya pasrah melihat ibuku mengucurkan darah bercampur peluh akibat menahan serangan sakit yang menusuk tubuhnya. Ia tak menangis sedikitpun, sebab air matanya telah mengering, oleh penderitaan ini.
   
    Kemudian teman dari iblis berewok itu datang membawa sebah benda tajam. Oh tidak, apakah mereka akan...? tidak, jangan! Kaliabntak boleh menyiksanya lebih dari sang kematian! Tolong ampuni ibuku, ampuni aku, yang dimatamu tak berguna ini!
   
    JANGAN BUNUH IBUKU!
   
    “Jangan..., jangan..., JANGAN!!!”
   
    “Kau rasakan sendiri,” suara iblis berewok bagai dentuman halilintar membelah langit. “Akibat karena telah melawan perintahku.”
   
    TIDAAAAKK!
   
    Kejadiannya begitu cepat, hingga membuatku berpikir kalau itu hanya mimpi. Tanpa rasa bersalah, ia melakukannya tepat di hadapanku. Fakta liar ini berkecambah memenuhi otakku bahkan menyeberang ke alam imajinasiku. Sulit diterima akal sehat. Oh, terkutuklah dia! Iblis keji nan bengis! Pembunuh umat manusia! Pembawa siksa neraka!
        

    Ia telah merenggut nyawa ibu dariku!
   
    Wajahnya sedemikian berganti, menjadi rupa iblis sungguhan.
   
    “AHAHAHAHA, matilah kau ke neraka,” Mengerikan. Nada suaranya pun berubah menjijikkan. Ia bukan manusia lagi. “Nah, sekarang GILIRANMU. HAHAHAHA!”
   
    Oh, Tuhan, ia akan membunuhku! Selamatkan daku, Maha Pengasih! Aku masih ingin hidup, aku tak mau meninggalkan bumi dengan cara demikian! Tolong aku, siapapun!
   
    Aku beruhasa melepaskan kekangan tangan dan kakiku. Aku terus mencoba, meski kemungkinan lepasnya sangat kecil, atau tak ada sama sekali. Kurasakan kulit pergelangan tangan dan kakiku lecet, memerah akibat darah yang mengucur. Aku tak peduli. Aku ingin selamat!
   
    “Sia-sia saja, anak sialan. Sekarang waktunya kau menemui ibumu ke alam baka!”
   
    Aku semakin memperbanyak gerakanku. Entah mengapa, gelombang deru memaksaku bergerak lebih. Ajaibnya, tali kekang tangan dan kakiku lepas begitu saja. Tanpa pikir panjang, aku menerobos menghantam iblis itu dan mendorongnya hingga terjungkal ke lantai. Lantas aku keluar dari ruang penyiksaan itu, meninggalkan rumah yang selama ini menimbulkan kepedihan dalam hidupku, dan terus berlari tanpa menengok ke belakang.
   
    Aku berlari, tanpa henti, tak menggubris apapun. Beberapa bulir air mata melayang tersapu angin dan jatuh ke tanah. Bayang-bayang ibu terngiang di kepalaku, semakin melemahkanku. Dan pada titik dimana jarakku cukup jauh dikejar, aku berlutut lalu mencium tanah seraya menangis.
   
    Ibu...., Ibu...., IBUUUUUU!
   
    Aku janji bu, akan kubalaskan kematianmu ini dengan tumpahan darah mereka. Aku bernaji padamu!


   
    Tibalah mereka di ruang ganti.
   
    Lorent menunjukkan lokernya pada pria itu. Ia minta waktu sebentar untuk mengambil baju gantinya sebelum ia mempersilakan pria itu menjelajah isi kopernya. Si pria mengangguk dan menunggu di sampingnya. Ruang ganti terkesan cukup unik dengan ukuran minimalis yang praktis. Si pria meneliti setiap bagian ruangan itu. Ia tersenyum geli karena ruang ganti kasinonya jauh lebih baik dari ini. Sementara Lorent merogoh isi lokernya, mencari sesuatu. Namun bukan bajunya, melainkan benda...
   
    Benda tajam.
   
    Belum sempat pria itu mengetahui apa yang terjadi, tiba-tiba Lorent menusukkan belati tepat ke jantung pria itu. Belum puas, ia mendorongnya sampai menghantam dinding. Pria itu kesakitan bukan kepalang, karena Lorent tidak hanya menyerangnya satu kali tapi berkali-kali ke tubuhnya. Darah segar segera termuntahkan menodai wajah cantik Lorent dan mengitiro kemeja si pria. Sebagai serangan terakhir, Lorent menggorok leher si pria tanpa ampun. merebahlah pria itu ke lantai.
   
    Merebahlah Pria Berewok itu ke lantai.
   
    “K-k-ke-kke-kenapa..., k-kka-kkkaa-kau...., m-mmee-mee-melakukan...”
   
    “Kau tak ingat padaku?” Lorent terlihat bengis, cecerah cairan merah di pipinya semakin menimbulkan kesan sadis pada tatapannya. “Oh, tentu saja kau tak mengenalku, karena aku telah berubah banyak.”
   
    Tatapan itu...., rasanya aku...
   
    “Kenapa? Mencoba mengingat? Mencoba sampai kepalamu pecahpun, kau takkan bisa mengenali diriku. Kenapa? KARENA KAU YANG TELAH MENGUBAHKU SEPERTI INI!”
   
    Tatapan itu..., suara serak kecil itu..., jangan-jangan...
   
    “KAU MEMBUNUH IBUKU DI HADAPANKU!”
   
    Mata si pria terbelalak.
   
    Tidak, tidak mungkin! Harusnya ia telah mati! Keberadaannya tak bisa kulacak! Ia harusnya menderita termakan alam! Ia merana dan mati kelaparan! Kenapa sekarang dia...
   
    “Seumur hidup aku harus mengikuti tuntutanmu,” Seru Lorent, membuka masa lalunya yang kelam. “Kau ingin anak perempuan sebagai alatmu, tapi kau merutuki ibuku yang melahirkan aku. Lantas apa salah ibuku? Dan aku..., aku rela melawan kodrat alam agar kau bisa menisi perut buncitmu itu. Aku dipermalukan, diolok-olok, dicerca, dimaki, direndahkan. Kau telah mengutukku, karena aku yang lahir sebagai ANAK LAKI-LAKI ini!”
   
    “Aku terus berlari, beranjak dari satu rumah ke rumah lain, meminta belas kasihan dari orang lain. Hidupku semakin mendertia, sebab kau menanamkan jiwa perempuan padaku. Aku tersiksa, tercampakkan, hanya karena kerakusanmu yang mengubahku demikian buruk ini. Sampai akhirnya aku mengganti kelaminku sendiri, dan berwujud sepenuhnya menjadi manusia gemulai yang disebut hawa. Kemudian aku mengganti namaku, Floren, menjadi Florentina.”
   
    Lorent mengadah ke langit. Lalu ia merentangkan kedua tangannya.
   
    “Terima kasihku kepadamu, wahai Sang Pencipta,” Serunya lantang. “Sebab Engkau mengirimkan makhluk busuk ini kepadaku, sehingga aku bisa membalaskan kematian ibundaku. Hahahahaha!”
   
    Si pria meringis. Pandangannya mengabur seiring dengan banyaknya darah yang keluar dari lukanya. Melihat itu, Lorent tertawa, begitu mengerikan melebih tawa si pria berewok saat ia disiksa dulu.
   
    “AHAHAHA, MATILAH KAU KE NERAKA!”
   
    Tusukan cepat melesat dan menancap di kepala pria berewok, mengakhiri upaya pembalasan Lorent semasa hidupnya.  
         


    

0 komentar:

Posting Komentar