Desember 11, 2011

Ector - Vengeance

Ctarr, ctarr, ctarr!

Suara – suara setan itu terus berdengung di telingaku. Tak henti – hentinya pelatih mencambuk kakiku agar aku mau bergerak. Bukan, menari lebih tepatnya. Namun sayangnya tubuhku kepayahan dan seluruh ototku menagih untuk berhenti. Acap kali aku tertahan hanya sekedar melepas penat sesaat, cambuk berduri tajam langsung diarahkan kepadaku. Aku terus menari, menari, menari, menari...... hanya agar manusia keji itu mendapat pujian tinggi dari para penonton. Dan aku, sebagai bahan leluconnya.

Tunggu dulu, tadi aku bilang pelatih? Itu terlalu sopan. Harusnya tadi kubilang ‘Makhluk buas berkulit manusia’. Ya, lebih menakutkan dari monster manapun. Aku berani taruhan semua makhluk beradab sama sepertinya. Sebab mereka menertawakanku, bukan bersimpati layaknya ciptaan Tuhan yang lain. Mereka lebih senang melihatku menderita daripada menolongku yang semakin rapuh ini. Aku ini sahabat mereka, seharusnya mereka memperlakukanku seperti teman sejawat. Hanya karena mereka memiliki intelegensi di atasku, bukan berarti mereka semena – mena memaksaku bekerja demi mengganjal perut kosong mereka. Ini tidak adil, aku benci manusia!


Plok plok plok plok!

Riuh tepuk tangan penonton mengakhiri aksi panggungku. Dengan terengah – engah, aku berusaha bangkit dan memberikan salam terakhir kepada hadirin yang jahanam. Pelatihku – maksudku monster itu – bersemu merah mendengar teriakan pujian dari para penggemarnya. Penggemar? Akulah bintangnya, dan bukan orang – maksudku monster – ini! Mereka bersorak gembira atas segala luka yang ditorehkan MONSTER itu ke tubuhku. Aku mengaduh kesakitan, tapi telinganya hanya ada suara gemilang panggung penghibur, yang secara teknis akulah penghiburnya. Aku merasakan darah terpacu ke nadi kepalaku.

BLETAK!

“Menunduk kataku, dasar makhluk tidak berguna!” gumam iblis itu sambil membungkuk menatapku.

Sangat enggan, aku perlahan menundukkan kepala. Hatiku berkecamuk. Belasan tahun aku hidup seperti ini, namun aku tak kunjung mendapat kebahagiaan. Tentu saja, aku diasuh oleh iblis paling kejam di dunia, mengaku diri makhluk sempurna padahal pembawa petaka, yaitu manusia.

Saat aku hendak menegakkan kepalaku lagi, seorang anak kecil melempari biji kacang kenari tepat mengenai kepalaku.

TUAK!

Spontan aku mengelus – elus bagian kepala yang terkena lemparan tadi. Di sisi lain, anak itu tertawa kegirangan.

“Lihat yah, lemparanku tepat mengenainya,” kata anak itu sembari menunjukkan hasil ulahnya. “Ternyata benar, hewan itu dungu.”

“Sudahlah, Jeff,” jawab ayah anak itu. “Tidak baik melempar sesuatu sembarangan. Apalagi kau mengenai piaraan pelatih Kreeck.”

Monster yang bernama Kreeck berkata, “Ah, tidak apa – apa tuan. Lagipula piaraanku ini sangatlah kuat, bahkan kucambuk beberapa kali pun ia tidak mengerang kesakitan. Dilempari biji kenari seperti itu adalah hal kecil baginya.”

Kaupikir aku ini apa? Barang mati, hah?

“Tapi lebih baik anda segera mengistirahatkan piaraan anda, sepertinya ia terlihat kelelahan.”
“Um, baiklah tuan,” jawab si monster enteng. “Saya mesti segera kembali ke penginapan, dan sesuai saran tuan saya akan mengistirahatkannya. Saya permisi dulu.”

Iblis kreeck berpamitan kemudian melangkah ke utara, sedangkan Ayah dan anak itu melangkah pulang ke arah sebaliknya. Jarak antara penginapan dengan panggung pertunjukkan cukup dekat, satu poin lagi yang membuatku semakin membenci iblis terkutuk itu. Penginapan bagiku adalah neraka. Di sana aku tak mungkin bisa tidur nyenyak, impianku selama ini.

Setibanya di kamar penginapan, ia meletakkan barang bawaannya kemudian – menggiringku paksa ke istal reyot di halaman belakang. Ia mencengkeram leherku dan menyeretku dengan keji. Aku mencoba melawan, namun ia sekuat banteng. Kedua tangan mungilku mencoba memukul – mukul tangan berototnya. Tapi ia terkekeh, lalu kekehannya membengkak menjadi tawaan melengking nan menyeramkan.

GUBRAKK!

Tubuhku meringkuk lantaran rasa sakit yang menghujam bagai panah besi. Aku meronta, yang terdengar mirip erangan kera. Memang benar, aku ini kera.

“Jadi, hewan dungu,” ia mulai bicara. Tatapan tajamnya menumpulkan hasrat emosiku. “Berapa kali harus kukatakan agar kau mengerti, HAH?” Nadanya meninggi seolah aku mengerti semua kata – katanya. Itu benar, aku tahu apa yang ia katakan. “Kau tidak bisa hidup tanpaku. Kau hanya menumpang di sini. Karena menumpang, kau harus mau bekerja agar kau bisa terus hidup di rumahku.”

Entah mengapa emosiku kini kembali meletup seiring dengan suara seraknya yang membuatku jengkel.

‘Tapi apa yang kau lakukan tadi? Kau berhenti di tengah – tengah irama. KAU BERHENTI! SIAPA YANG MENYURUHMU BERHENTI MENARI, HAH?” Lima cambukan mendarat di tubuhku. CTARR! Aku tidak sempat menghindarinya.

IIEKK, IIIIEEEKKK, IIIIEEEEEKKKK

“Kenapa? Kau kesakitan? Haha, itu pantas untukmu SEBAB KAU TAK MENURUTI PERINTAHKU!”

Aku sangat kepayahan. Tenagaku telah habis untuk keperluan penghiburan semata. Aku hanya bisa pasrah.

Lalu ia berbalik menuju pintu setelah melempar cambuknya ke tumpukan barang di ekat pintu, kemudian balik menatapku sambil berseru, “kau tidak akan mendapat jatah makan selama tiga hari. Huh, dasar makhluk tak tahu diuntung!” dan ia menutup pintunya.

Manusia bengis! Mereka kemanakan hati nurani mereka yang suci?

Tepat setelah umpatan terakhir  kulontarkan, seseorang membuka pintu seraya membawa seekor kera. Lantas kera itu ia lemparkan ke tumpukan jerami, kemudian ia menutup pintu kembali.

Kera itu kurus kering. Terlihat dari bentuk fisiknya, ia seperti kekurangan gizi. Anehnya ia memiliki bulu lebat di sekitar kepalanya.

“Auww!” erangnya mengelus belakang punggungnya. “Kurasa sakit punggungku kambuh lagi.”

“Amesir!” seruku memanggil nama kera itu sambil berjalan mendekat.
“Ec’tor, kaukah itu?” ia memicingkan mata untuk memastikan lawan bicaranya. Yakin bahwa penglihatannya benar, wajahnya bersemu cerah. “Itu kau, kawanku!”

“Apa yang terjadi kali ini?” tanpa basa – basi, aku langsung ke topik permasalahan. “Kau tak becus menari lagi, atau dipukuli karena kelelahan?”

Ia mendesah pelan, kedua matanya sayu menatap tanah.

“Kurasa aku harus pensiun dari pekerjaan ini,” jawabnya pelan, bahkan aku menyendengkan telinga agar bisa mendengarnya. “Jujur saja, aku tak kuat lagi bila harus bekerja seperti ini terus.”

Deg. Ini pernyataan dari sahabatku yang periang. Baru kali ini aku melihatnya begitu lemah. Ia ingin keluar dari kehidupan kejam ini.

“Ini bukanlah kejadian pertama kali,” ia menambahkan. “Sering aku berbuat kesalahan yang sama. Dan manusia – manusia itu, yang menyebut diri mereka makhluk paling sempurna, menyiksa raga dan batinku. Mereka memperlakukanku seperti boneka usang yang pantas dibuang. Di mata mereka hanya ada kekayaan, kekuasaan, ketamakan. Tak sedikipun mereka peduli padaku. Mereka mempermainkanku semena – mena. Aku tak tahan menanggung ini semua!”

Temanku, aku mengerti perasaanmu. Bagi mereka, kita hanyalah alat peraup keuntungan. Kebebasan kita dibelenggu oleh tangan – tangan kotor mereka. Aku juga merasakan hal yang sama sepertimu.

Aku tak tahan lagi. Kurasakan darah nai sampai ke ujung kepalaku.

“Ayo kita berontak melawawn mereka!”
Amesir terkejut. Ia menatapku seolah aku ini sedang melucu. “Apa? Kau ingin melawan mereka?” tanyanya tak percaya.

“Kau akan membantuku, kan?” tanyaku balik. Geloraku membara, jadi yang kupikirkan saat ini hanyalah keinginan balas dendam. Aku tidak berpikir bahwa Amesir akan menolak ajakanku.

Ia tertunduk, lalu memejamkan matanya. Dan... menggeleng.

“Kupikir itu ide yang buruk,” aku mengerutkan alis begitu ia berkata demikian. “Kita hanya berdua, mereka itu jumlahnya lima orang. Terlebih lagi, mereka terampil menggunakan sesuatu untuk dijadikan senjata. Sementara kita...”

“Tapi kaubilang kau ingin keluar dari tempat ini?” dalihku dengan nada memohon.

“Kita kabur, bukan melawan mereka.” Balasnya.

“Jadi, kau enggan membalas perbuatan mereka selama ini? Kau biarkan mereka yang menindas kita hanya karena mereka lebih kuat dari kita?” Dalam urusan timbal balik, aku terkadang memaksakan kehendak seperti ini. Dan menurutku hal tersebut memang harus diperjuangkan, terlebih lagi ini menyangkut tentang keadilan. Aku tidak bisa berdiam diri di saat situasi merugikan pihak yang lemah.

Amesir memalingkan wajahnya dari tatapanku. “Meskipun kau tetap ingin balas dendam, hasilnya sudah bisa ditebak.”

Sebenarnya dalam pikiranku terlintas pernyataan yang serupa. Kemungkinan kami menang menghadapi mereka sangatlah kecil, bahkan tidak ada sama sekali.
“Tapi bila kita menghindari mereka, bagaimana cara kita keluar dari sini?”

Ia termenung begitu lama. Sepertinya pertanyaanku telah membuka logika bepikirnya, bahwa kita tinggal di istal semacam ruang isolasi. Menghindari kontak dengan para pelatih – maksudku para monster – sama saja dengan memperkecil kemungkinan meloloskan diri. Tidak ada cara lain selain menghadapi para manusia.

Perbinvangan kami berubah menjadi debat yang semakin memuncak. Kemudian, dua monster datang dengan membawa senjata tajam di tangan mereka.

“Hukuman untuk kalian,” kata monster Kreeck, sambil menyipitkan mata. “Pancung!”

Ini tidak baik! Setelah semua yang kami lakukan untuk mereka, dibalas dengan menumpahkan darah kami ke tanah!

Amesir terlihat ketakutan. Aku tahu itu, terlihat jelas dalam sorot matanya...

“Ah, dia saja yang jadi korbannya!”

Tangan monster Sins, teman monster Kreeck, menunjuk ke arah Amesir.

Spontan Amesir berlari, namun itu tak berguna sama sekali.

Aku mencoba menghadanga monster Sins, menyuruh Amesir untuk segera menyingkir, tapi tubuhku dicengkeram oleh monster satunya. “Hei, kau itu bagianku. Jangan menggangu acara seru kami.” Bisik monster Kreeck.

Kami tertangkap. Kemudian kami dibawa ke halaman Duka Lara. Setidaknya, begitulah nama halaman belakang istal yang mereka ciptakan. Bagi kami, halaman itu adalah neraka dunia – akhir segala kesengsaraan kaum kami – curahan air mata kesedihan – awal benih dendam dalam hati kami. Dan, yang akan terkena eksekusi berikutnya adalah...... Amesir.

“Baiklah, saat ajalmu tiba, kera buduk!” seringai monster Sins menakuti Amesir, yang sangat ketakutan.

Aku tak bisa berbuat banyak, sebab tubuhku dicengkeran oleh tangan berotot monster Kreeck. Mataku tak berkedip sedikitpun, saat mereka memulai eksekusi. Aku tak bisa bayangkan betapa sedih dan marahnya aku saat ini – jahat, tak berperasaan, keji, buas – mereka mencambuk habis tubuh Amesir, mencabuti bulunya dengan paksa, dan – terlalu pedih – memisahkan kepala dari tubuhnya.

IIIIIIEEEEEEEEEEEEEKKKKKKK!

Hening. Disusul dengan tawa setan dari mereka berlima.

Darah itu, darah sahabatku yang paling kusayangi, kaumku, tertumpah lagi ke tanah. Aku menangis, menangis atas segala nyawa tak bersalah yang terhimpit oleh penindasan dan ratap duka pahitnya kebenaran. Kedua tanganku mengepal keras. Seperti kerasukan sesuatu, mimikku berubah seketika.

Aku berontak, dan lepas dari cengkeraman monster Kreeck, lalu mengambil pisau terdekat yang bisa kujangkau. Aku melompat dan berlari kesana kemari, membunuh para monster itu membabi buta. Kugorok leher mereka satu per satu, tanpa ampun. Aku telah kehilangan kewarasan sehingga seolah kekuatanku berlipat ganda, buktinya mereka sulit menangkapku karena aku bergerak dengan lincah. Belum puas melihat mereka kesakitan dan darah, aku menusuk jantung merek, berkali – kali, sampai baju mereka ternoda merah. Tubuhku terkena cipratan darah mereka, namun aku tak peduli.

Ini demi kaumku!

Aku berhasil. Mereka mati, menyisakan raut ketakutan di wajah mereka. Melihat itu, aku tertawa sejadinya. Tertawa keji seperti yang mereka lakukan padaku, pada kaumku.

Aku beranjak dari tempat itu, sambil membawa pisau berdarah. Berharap menemukan mangsa baru, manusia berhati iblis.




0 komentar:

Posting Komentar