Kemanapun
engkau, aku selalu besertamu
Mendampingimu
kala cahaya meredup
Tapi
janganlah bersuka akan kehadiranku
Sebab
akulah hitam dalam putihmu
Melangkah,
dan berlari
Kemanapun
engkau, bayangku membelenggumu
Tangan
ini akan merenggut pesonamu
Melenyapkan
kebahagiaanmu
Akulah
hitam dalam putihmu
Deru
nafasmu menyenangkanku
Rohmu
memuaskanku
Menarikmu
dalam tangan kegelapan
Akulah
takdirmu, takdir kelammu
...
Langit menghitam tertutup sihir
kematian. Petir menggelegar silih berganti, menampilkan suasana kastil
Magnieval yang mencekam. Sementara empat orang bepisah menuju keempat menara
yang dijaga oleh ksatria meja bundar.
“Berjanjilah kau akan selamat,” seru
May sesaat sebelum perpisahannya dengan Kyu. “Berjanjilah padaku, Kyu!”
“Hmm, pasti,” jawab Kyu sambil
mengangguk. “Kau juga, jaga dirimu!”
Dan akhirnya mereka melewati pintu
menara yang berbeda kemudian menghilang.
. . .
Kyu memilih menara pertama dari
Timur, sedangkan tiga rekannya yang lain menuju menara kedua, ketiga dan
keempat. Masing – masing menara dijaga oleh seorang ksatria pelindung kastil
Magnieval. Kyu tidak menghiraukan hal itu. Ia terus berlari tanpa peduli kiri
kanan. Siapapun lawannya, baik lemah maupun terlampau kuat, ia siap melawannya.
Tanpa mengurangi kecepatan, ia
melewati pintu menara lalu dengan cepat menyusuri setiap anak tangga ke lantai
paling atas. Ia harus cepat, sebab nyawa salah satu rekannya dipertaruhkan
dalam misi penyelamatan ini. Perlahan ia mulai kelelahan, namun ia terus
berlari. Ia tidak ingin menyerah pada ribuan anak tangga yang mempermainkannya.
Sedikit lagi hampi mencapai serambi menara...
Berdiri di hadapannya sebuah pintu
kayu tua yang berukuran dua kali tingginya dengan pengetuk pintu berlambang
singa emas. Ia mendorong pintu itu menggunakan sebelah tangan, dan...... pintu
terbuka.
Ia menajamkan penglihatannya. Ini
terlalu aneh, seperti menerima tamu tak diundang semudah menyambut kawan.
Mungkin ini semacam perangkap agar musuh menampakkan diri, seperti tikus yang
keluar dari sarangnya begitu melihat makanan di depan mata. Atau bisa jadi
seluruh menara telah dipasangi berbagai jebakan maut dan sebenarnya tidak ada
seorangpun di dalam menara.
Kyu berjaga – jaga sambil berjalan.
Ia memasuki ruangan berbentuk arena seperti panggung, lalu di setiap sisinya
terdapat jurang kecil berisi ratusa tombak runcing yang mencuat memperlihatkan
kemilau matanya. Pada jarak beberapa meter di hadapan Kyu, terbentang bendera
besar bersimbol pedang emas bersayap, simbol dari kastil magnieval.
Kyu terpana memandangi ruang arena
itu, sampai – sampai tak menghiraukan seseorang yang kini berdiri menghadapnya.
“Mengagumi ruangan ini, eh?”
Kyu tersentak, memegang gagang
pedangnya dalam posisi bertempur, namun pedangnya masih tersarung.
“Tak apa. Semua orang yang
mengunjungi menaraku ini juga sama terkagumnya seperti kau sekarang.”
“Siapa kau?” tanya Kyu tegas.
“Untuk seorang ahli pedang, kau
cukup keras juga,” balas orang itu ringan. Ia melangkah maju melewati seberkas
cahaya yang datang dari jendela, menampakkan sosoknya yang asli. “Harusnya aku
yang menanyakan pertanyaan itu.”
Kyu mendapati seorang ksatria
berzirah emas sedang berbincang dengannya.
“Ksatria Meja Bundar.”
“Hmm, responmu terlalu lambat,”
ksatria itu berujar santai, raut mawajhnya terlihat ramah dan bersahabat, namun
tersenyum licik. “Dan kau benar, aku Ksatria pelindung Magnieval, Knights of
Round Table.”
Kali ini Kyu benar – benar menarik
pedangnya.
“Dimana dia, dimana temanku?”
Tidak tahu atau sekedar pura – pura,
sang ksatria mengerutkan alis sambil tersenyum, yang malah terlihat mengejek.
“Apa maksudmu?”
“Jangan bertele – tele,” Kyu
mempertegas suaranya. “Dimana temanku kau sembunyikan?”
“Aku tak mengerti apa yang kau
bicarakan.”
“Kau,” Kyu memerah akibat marah.
Tiba – tiba ia berlari hendak menyerang sang ksatria. “Kembalikan temanku!”
Sang ksatria menangkis tebasan Kyu
cukup menggunakan tangannya.
“Sangat tidak sopan.”
Sang ksatria mendorong dengan tangan
satunya hingga Kyu terpental menjauh beberapa meter.
“Kuperingatkan satu hal padamu,”
ucap sang ksatria seraya menatap tajam Kyu. Eksperi wajahnya berubah sama
sekali. “Aku paling benci orang yang suka menuduh sembarangan, seperti yang kau
lakukan padaku. Orang yang suka cari gara – gara adalah sampah buatku.”
“Diam kau!”
Petir menggelegar seiring teriakan
Kyu kepada sang ksatria.
“Kau tak berhak mengatakan itu di
depanku. Kau menganggap orang yang cari gara – gara adalah sampah, tapi kau
sendiri lebih rendah dari sampah.”
Sang ksatria mengaum, dan terdengar
layaknya singa mengaum.
“Aku belum pernah bertemu musush
selancang kau,” geramnya. Ia mencabut dua pedang yang tersarung di pundaknya.
“Alangkah baiknya kalau aku langsung saja menghajarmu. Aku, Yvain sang ksatria
emas, akan mengadilimu dengan hukuman langit yang tak terperihkan.”
Tiba – tiba sang ksatria berada
tepat di depan Kyu. Ia menebaskan kedua pedangnya, yang segera disambut oleh
halauan katana Kyu. Ketiga pedang saling bergesekan menciptakan percikan perak
kecil beriringan. Kyu tergeser ke belakang karena desakan sang ksatria, saat
itulah ia menyerang balik menggunakan sarung pedangnya. Sang ksatria melompat
mundur beberapa langkah.
“Tidak buruk,” komentar sang ksatria.
“Tidak seperti kau yang bergerak
lambat.” Balas Kyu dengan ejekan.
“Hmm, begitukah? Itu baru pemanasan.
Aku hanya bermain – main sebentar denganmu, sebab pertarungan tanpa permainan
rasanya tidak seru.”
“Huh, mau berdalih?” Kyu mencoba
strategi baru, berharap bisa berhasil membuat sang ksatria kehilangan
konsentrasi. “Katakan saja kau tidak mampu menyaingiku.”
“Menyaingimu? Tentu saja, bodohnya
aku!”
Sang ksatria menyilangkan kedua
pedangnya.
“Jujur saja, aku tidak secepat kau.”
Sang ksatria melanjutkan. Namun ia sudah hilang dari pandangan, dan muncul di
belakang Kyu. “Aku ingin mempelajarinya darimu.”
Menyadari musuh membelakanginya, Kyu berbalik
dan menyerang Yvain, tapi lagi – lagi sang ksatria menghilang.
...... lalu muncul di di samping
kanan.
“Jadi akan kuperlihatkan kecepatanku.”
...... muncul di samping kirir.
“Tapi kenapa kau tak bisa membaca
gerakanku?”
..... muncul di depan, diiringi
tebasan pedangnya yang telak mengenai Kyu.
“Karena aku ini memang cepat.”
Kyu terpental sejauh sepuluh meter,
nyaris jatuh ke jurang bertombak. Ia berdiri sembari menahan rasa sakit akibat
pukulan keras barusan.
“Itulah aku. Sang singa.”
Ia
lumayan kuat, gumam Kyu dalam hati.
Aku harus berhati – hati agar tak terkena serangan tiba – tibanya. Tidak ada
waktu untuk main – main, aku harus mengalahkannya.
Ia mengeluarkan surat gulungan dalam
lengan bajunya. Surat gulungan berwarna hijau, jurus andalannya.
“Oh ya, mengenai tuduhan miringmu
kepadaku,” lanjut sang ksatria setelah terdiam cukup lama. “Yang menculik
temanmu itu adalah Lancelot dan Gawain. Aku sama sekali tak terlibat soal itu.
Tapi begitulah Magnieval, selalu bekerja tuntas. Jadi kami sedikit main – main
dengan menyerang kalian. Sebab penghalang keberhasilan misi kami adalah musuh
kami, siapapun orangnya.”
Selama Yvain berbicara, Kyu melepas
segel suratnya lalu berkonsentrasi memusatkan energinya ke seluruh tubuh. Sang
ksatria menyadari sekaligus mengetahui hal itu. Ia bisa merasakan energi sihir
mengalir aktif di tubuh Kyu.
“Itukah senjata pamungkasmu?” sang
ksatria melirik surat gulungan hijau di tangan Kyu.
“Kau akan tahu segera.”
Kyu menarik surat gulungan itu, di
dalamnya berderet tulisan rune yang terpisah satu – satu. Kemudian tulisan -
tulisan itu bercahaya keluar dari surat gulungan dan berubah bentuk menjadi
puluhan pedang. Pedang – pedang itu mengarah langsung ke arah sang ksatria.
“Menarilah pedang – pedangku,”
teriak Kyu. “Dance of Cyclone.”
Segera puluhan pedang terbang menuju
Yvain. Semuanya, meleset! Bukan, tidak meleset. Hanya saja pedang – pedang itu
kurang cepat sehingga tak satupun melukai sang ksatria.
Sebab, Yvain telah berpindah di
samping Kyu.
“Kau pikir pedang terbang bisa
melumpuhkanku?”
Sang ksatria membaca jurus Kyu, tapi
tidak menyadari strateginya. Kyu memanggil sedikit dari senjatanya, yang
sebagian besar masih tersegel dalam surat gulungan. Seketika keluar puluhan
pedang lain begitu sang ksatria mendekat.
“Itu belum semua,” kata Kyu sambil
menyeringai. Sang ksatria terlalu dekat dengan pedang – pedang Kyu, dan tak
sempat menghindar. “Berputarlah, Spinning
Slash.”
Terjadi benturan antara zirah emas
dengan pedang – pedang perak. Sang ksatria bertahan dengan menyilangkan tangan
ke depan. Ia menjauh ketika putaran pedang itu semakin kuat ditambah lagi
pertahanannya yang berangsur – angsur melemah.
“Hebat,” puji Yvain begitu melihat
zirahnya tergores. “Baru kali ini aku bertemu musuh yang sepadan. Menarik!”
Sang ksatria menarik kedua
pedangnya, kemudian bagai angin ia menyerang Kyu dengan gerakan kilat yang
sulit dilihat mata telanjang. Serangan bertubi – tubi ditujukan kepada Kyu,
yang saat ini memilih dalam posisi bertahan. Saking cepatnya, ia memecah konsentrasi,
antara membaca keberadaan dengan menyesuaikan gerak tubuh. Sayangnya pada titik
dimana ia kesusahan memusatkan pikiran pada dua sisi itu, pertahanannya
terbuka. Kesempatan bagus bagi sang ksatria untuk melumpuhkannya.
Satu tendangan keras mengenai wajah
Kyu, begitu kuatnya hingga ia terpental dan jatuh dengan kepala mencium lantai
duluan. Yvain menampakkan diri sambil menyeringai lebar.
“itu masih belum seberapa. Aku belum
mengeluarkan sedikitpun jurusku.”
Menghapus lelehan darah yang keluar
dari mulutnya, Kyu bangkit berdiri. “Kali ini aku tidak akan main – main,”
serunya. Lalu muncullah puluhan sabit dalam berbagai ukuran dan variasi bentuk
mengelilinginya, membentuk formasi melingkar. “Datanglah cahaya kegelapan, Circle of Death.”
Segera puluhan sabit itu berputar
secara vetikal dan melesat menuju sang ksatria, yang menyambutnya dengan senyum
datar.
“Cross Impact.”
Cahaya emas menabrak lingkaran sabit
itu dan menghancurkannya. Seketika
gelombang udara yang dihasilkan oleh tabrakan itu menyebar ke sepenjuru
ruangan, melemparkan serpihan – serpihan senjata yang hancur akibat energi
dahsyat tersebut.
“A-apa?”
Masih terkesima menatap kedahsyatan
jurus itu, Kyu tidak menyadari kehadiran Yvain yang sudah berdiri di
hadapannya.
“Kutunjukkan tarian baru untukmu,”
bisik sang ksatria, bersiap – siap melanjarkan jurus berikutnya. “Streght of Punishment – Triangle Dark Hole!”
Ribuan tebasan pedang melayang
mengenai tubuh Kyu. Ia terlambat mempertahankan diri, namun itu percuma sebab
serangan itu meremukkan apapun yang dilewatinya, bahkan gelombang jurus itu
membekas di dinding di belakang Kyu. Kyu terkoyak, darah tercurah dari mulutnya
dalam jumlah banyak, menghasilkan efek sadistik yang menyeramkan. Lawannya tak
mengenal ampun, dan begitulah ciri khas ksatria singa.
“Hmm, sudah selesai,” seru Yvain
melihat lawannya terkulai tak berdaya. “Aku mengharapkan pertarungan yang seru.
Dan, seperti biasa, yang kudapat hanya petarung rendahan sepertimu. Aku memang
terlalu mengharapkan hal yang mustahil.”
Sang ksatria berbalik meninggalkan
samurai putih yang sedang sekarat. Ketika baru mencapai beberapa langkah,
sebuah pedang melesat cepat ke arahnya, tapi ia bisa menepisnya dengan halauan
pedang. Ia berbalik lagi dan mendapati samurai yang berdiri, memegang surat
gulungan berwarna kuning sambil terengah mengatur napas.
“Wah, wah, tampaknya kata – kataku
barusan telah mengembalikan semangat bertarungmu lagi.”
“Aku masih bisa bertarung,” sentak
Kyu, membuka surat gulungannya sebari menatap tajam ke arah Yvain. “Dan jangan
remehkan aku.”
“Oh, kau masih ingin mencoba terapi
penyiksaan? Dasar sampah!”
Yvain berlari seraya mempersiapkan
kedua pedangnya, sedangkan Kyu melompat ke atas dengan menarik surat
gulungannya sepanjang beberapa meter. Ia merapal segel sihir dan memutar surat
itu. Seketika keluar ribuan tombak yang mengarah langsung ke sang ksatria.
“Spearstorm!”
Dengan cepat tombak – tombak itu
melaju menuju sasarannya. Tapi sang ksatria berhasil menghindar dari hujan
tombak itu. Ia menyusuri setiap tombak yang menancap kemudian melompat hendak
menyerang sang samurai.
Tebasannya meleset. Kyu telah
berpindah posisi, sama cepatnya seperti yang dilakukan Yvain.
“Terima ini!” teriak Kyu seraya
melemparkan beberapa tombak lagi ke arah Yvain.
“Percuma saja!”
Sang ksatria menghalau serangan itu.
Ia melesat menuju Kyu dan menyerangnya. Lagi – lagi Kyu menghilang.
“Kemari kau dan lawan aku!” Teriakan
sang ksatria menggema. Hasrat ingin mengalahkan lawannya mendadak terpacu sampai
ke tingkat emosi yang meluap.
Kyu melempar lagi tombak –
tombaknya. Dan kali ini ditepis oleh Yvain dengan auman singa nan keras.
Gelombang suaranya bahkan menggetarkan lantai bak diguncang gempa. Lantas ia
menghampiri samurai putih diselingi gesekan pedang yang mengenai ubin. Dan Kyu
melompat, memanggil sisa tombak pada surat gulungannya sambil berseru :
“Akan kutunjukkan kekuatanku yang
sesungguhnya!”
Bagai hujan, ratusan tombak jatuh
tepat ke bawah, menuju Yvain yang berdiri melihat lawannya ke atas. Tombak –
tombak itu mengenai sasaran. Petarung berzirah emas seakan tertimbun hujaman
tongkat bermata runcing.
Sepertinya
seranganku yang terakhir mengenainya telak, gumam Kyu. Ia mendekat,
memastikan prasangkanya. Tapi ketika mencapai jarak cukup dekat, sesuatu
mengenyahkan tombak – tombak yang tertancap dan menerbangkannya. Suatu energi
hasil luapan emosi dan kekesalan serta keinginan untuk menghancurkan. Yvain
bangkit dengan wajah dipenuhi kemarahan. Matanya berkilat putih, otot – ototnya
menegang. Semua membaur dalam nafsu membunuh yang teramat kuat.
“Aku muak sekarang! Tak ada ampun
bagimu, samurai! Hadapilah kematianmu!”
Sang ksatria, tak kasat mata, tiba –
tiba muncul di hadapan Kyu dan mulai menyerang membabi buta. Seakan mesin
petarung yang haus duel, sang ksatria tak memberi sedikit kesempatan kepada
lawannya. Tendangan, pukulan, tendangan, pukulan, tendangan lagi, pukulan
lagi..., bersatu menjadi sebuah irama serang yang mematikan. Kyu tidak bisa
menghindar lagi. Selagi Yvain menyerang, ia tak berkutik.
“Matilah kau!”
Pukulan terakhir diarahkan ke wajah
Kyu. Tubuh Kyu melesat jauh kemudian terpantul beberapa kali hingga mendarat
dengan punggung menghadap ke langit. Sang ksatria meraung seolah ia baru saja
memenangkan pertandingan.
“Akulah yang paling kuat!”
Petir menggelegar kembali, diiringin
tetes – tetes air yang berlanjut menjadi hujan. Langit semakin menghitam, kelam
nan sedih. Kyu masih tersadar, namun kedua matanya menatap samar – samar. Ia
hampir pingsan. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ksatria berzirah emas ternyata
terlampau kuat baginya. Ia teringat akan masa lalunya, masa lalu suram yang
sebenarnya ingin ia lupakan. Entah mengapa kenangan itu muncul di saat seperti
ini. Merasa diri tak berguna, dikucilkan, dan tak dianggap. Ia merasa kecil,
tak pantas di mata orang lain. Kemudian...
Berjanjilah
kau akan selamat. Berjanjilah, Kyu!
Kata – kata May terngiang di
kepalanya. Lalu disusul dengan suara dari rekan – rekannya.
Aku
yakin kau bisa...
Ray!
Tunjukkan
kehebatanmu...
Ven!
Kita
ini teman...
DAN!
Teman – teman, ya, ia tidak
sendirian lagi. Ia punya teman, dan teman – temannya percaya sepenuhnya
kepadanya. Apa jadinya kalau ia menyerah di sini? Ia dibutuhkan, ia bagian dari
anggota. Dan karenanya, ia harus bisa mengalahkan sang ksatria emas, demi
menyelamatkan Dan.
Sang ksatria tercengang begitu
melihat Kyu mencoba bangkit.
“Ti-tidak mungkin! Harusnya kau
sudah...”
“Benar. Aku.... yang s-sampah...
ini.... harusnya... su-sudah mati.... dari t-tadi,” kata Kyu, menahan sakit.
“tapi.... aku... yang... sampah ini.... dipercaya.... oleh teman – temanku... “
“kau tetap sampah! Sekali sampah,
tetap sampah!”
“Yaa, aku me-memang sampah....
tapi.... AKU TAK SERENDAH DIRIMU!”
Luapan energi keluar dari tubuh Kyu,
sisa energi yang dimilikinya.
“AKU TIDAK AKAN MEMAAFKANMU!”
Mendengar itu, sang ksatria menjadi
gentar. Ia kaget saat sang samurai muncul di hadapannya tiba – tiba. Dengan
segala kekuatan yang masih dimiliki, Kyu menyerang balik.
Tebasan pedang terus – menerus
merajam tubuh sang ksatria. Bahkan membuat zirahnya mula – mula tergores, lalu
pecah seketika. Karena tak ada lagi pelindung di tubuhnya, Yvain menerima
serangan itu hingga seluruh tubuhnya terkoyak. Serangan terakhir merupakan
kombinasi antara kekuatan dengan kecepatan memainkan pedang, sehingga membuat
lawan tak berkutik.
Saat Kyu menyarungkan kembali
pedangnya, sang ksatria merebah ke lantai.
“K-kau.... hebat.... s-s-samurai...”
setelah berkata demikian, sang ksatria pingsan.
Ditatapnya ksatria singa itu. Kyu
merasakan kekuatan yang melebihi kemampuannya saat ini. Bukan karena
kehendaknya, melainkan semangat dan kepercayaan yang diberikan teman – temannya
kepadanya.
Kyu menangs sejadinya. Bulir – bulir
air mata menetes ketika ia teringat rekan – rekannya, terutama Dan.
Kita
ini teman...
“Terima,
terima kasih!” ucapnya sambil menutup kedua mata.
Kemudian ia jatuh, dan kehilangan
kesadaran. Dalam keadaan itu, ia tersenyum : senyuman sukacita.
Sementara langit berhenti menangis.
Tinggal menyisakan dinginnya udara, menciptakan suasana hening pada menara
singa emas.
. .
.
wuuuaaaaa hahahah kereeen XD
BalasHapus