Desember 23, 2011

The Lion Knight

            Kemanapun engkau, aku selalu besertamu
            Mendampingimu kala cahaya meredup
            Tapi janganlah bersuka akan kehadiranku
            Sebab akulah hitam dalam putihmu
            Melangkah, dan berlari
            Kemanapun engkau, bayangku membelenggumu
            Tangan ini akan merenggut pesonamu
            Melenyapkan kebahagiaanmu
            Akulah hitam dalam putihmu
            Deru nafasmu menyenangkanku
            Rohmu memuaskanku
            Menarikmu dalam tangan kegelapan
            Akulah takdirmu, takdir kelammu

            ...

            Langit menghitam tertutup sihir kematian. Petir menggelegar silih berganti, menampilkan suasana kastil Magnieval yang mencekam. Sementara empat orang bepisah menuju keempat menara yang dijaga oleh ksatria meja bundar.

            “Berjanjilah kau akan selamat,” seru May sesaat sebelum perpisahannya dengan Kyu. “Berjanjilah padaku, Kyu!”

            “Hmm, pasti,” jawab Kyu sambil mengangguk. “Kau juga, jaga dirimu!”

            Dan akhirnya mereka melewati pintu menara yang berbeda kemudian menghilang.
.   .   .

            Kyu memilih menara pertama dari Timur, sedangkan tiga rekannya yang lain menuju menara kedua, ketiga dan keempat. Masing – masing menara dijaga oleh seorang ksatria pelindung kastil Magnieval. Kyu tidak menghiraukan hal itu. Ia terus berlari tanpa peduli kiri kanan. Siapapun lawannya, baik lemah maupun terlampau kuat, ia siap melawannya.

            Tanpa mengurangi kecepatan, ia melewati pintu menara lalu dengan cepat menyusuri setiap anak tangga ke lantai paling atas. Ia harus cepat, sebab nyawa salah satu rekannya dipertaruhkan dalam misi penyelamatan ini. Perlahan ia mulai kelelahan, namun ia terus berlari. Ia tidak ingin menyerah pada ribuan anak tangga yang mempermainkannya. Sedikit lagi hampi mencapai serambi menara...

            Berdiri di hadapannya sebuah pintu kayu tua yang berukuran dua kali tingginya dengan pengetuk pintu berlambang singa emas. Ia mendorong pintu itu menggunakan sebelah tangan, dan...... pintu terbuka.

            Ia menajamkan penglihatannya. Ini terlalu aneh, seperti menerima tamu tak diundang semudah menyambut kawan. Mungkin ini semacam perangkap agar musuh menampakkan diri, seperti tikus yang keluar dari sarangnya begitu melihat makanan di depan mata. Atau bisa jadi seluruh menara telah dipasangi berbagai jebakan maut dan sebenarnya tidak ada seorangpun di dalam menara.

            Kyu berjaga – jaga sambil berjalan. Ia memasuki ruangan berbentuk arena seperti panggung, lalu di setiap sisinya terdapat jurang kecil berisi ratusa tombak runcing yang mencuat memperlihatkan kemilau matanya. Pada jarak beberapa meter di hadapan Kyu, terbentang bendera besar bersimbol pedang emas bersayap, simbol dari kastil magnieval.
           
            Kyu terpana memandangi ruang arena itu, sampai – sampai tak menghiraukan seseorang yang kini berdiri menghadapnya.

            “Mengagumi ruangan ini, eh?”

            Kyu tersentak, memegang gagang pedangnya dalam posisi bertempur, namun pedangnya masih tersarung.
            “Tak apa. Semua orang yang mengunjungi menaraku ini juga sama terkagumnya seperti kau sekarang.”

            “Siapa kau?” tanya Kyu tegas.

            “Untuk seorang ahli pedang, kau cukup keras juga,” balas orang itu ringan. Ia melangkah maju melewati seberkas cahaya yang datang dari jendela, menampakkan sosoknya yang asli. “Harusnya aku yang menanyakan pertanyaan itu.”

            Kyu mendapati seorang ksatria berzirah emas sedang berbincang dengannya.

            “Ksatria Meja Bundar.”

            “Hmm, responmu terlalu lambat,” ksatria itu berujar santai, raut mawajhnya terlihat ramah dan bersahabat, namun tersenyum licik. “Dan kau benar, aku Ksatria pelindung Magnieval, Knights of Round Table.”

            Kali ini Kyu benar – benar menarik pedangnya.

            “Dimana dia, dimana temanku?”

            Tidak tahu atau sekedar pura – pura, sang ksatria mengerutkan alis sambil tersenyum, yang malah terlihat mengejek.

            “Apa maksudmu?”

            “Jangan bertele – tele,” Kyu mempertegas suaranya. “Dimana temanku kau sembunyikan?”

            “Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan.”

            “Kau,” Kyu memerah akibat marah. Tiba – tiba ia berlari hendak menyerang sang ksatria. “Kembalikan temanku!”

            Sang ksatria menangkis tebasan Kyu cukup menggunakan tangannya.

            “Sangat tidak sopan.”

            Sang ksatria mendorong dengan tangan satunya hingga Kyu terpental menjauh beberapa meter.

            “Kuperingatkan satu hal padamu,” ucap sang ksatria seraya menatap tajam Kyu. Eksperi wajahnya berubah sama sekali. “Aku paling benci orang yang suka menuduh sembarangan, seperti yang kau lakukan padaku. Orang yang suka cari gara – gara adalah sampah buatku.”

            “Diam kau!”

            Petir menggelegar seiring teriakan Kyu kepada sang ksatria.

            “Kau tak berhak mengatakan itu di depanku. Kau menganggap orang yang cari gara – gara adalah sampah, tapi kau sendiri lebih rendah dari sampah.”

            Sang ksatria mengaum, dan terdengar layaknya singa mengaum.

            “Aku belum pernah bertemu musush selancang kau,” geramnya. Ia mencabut dua pedang yang tersarung di pundaknya. “Alangkah baiknya kalau aku langsung saja menghajarmu. Aku, Yvain sang ksatria emas, akan mengadilimu dengan hukuman langit yang tak terperihkan.”

            Tiba – tiba sang ksatria berada tepat di depan Kyu. Ia menebaskan kedua pedangnya, yang segera disambut oleh halauan katana Kyu. Ketiga pedang saling bergesekan menciptakan percikan perak kecil beriringan. Kyu tergeser ke belakang karena desakan sang ksatria, saat itulah ia menyerang balik menggunakan sarung pedangnya. Sang ksatria melompat mundur beberapa langkah.

            “Tidak buruk,” komentar sang ksatria.

            “Tidak seperti kau yang bergerak lambat.” Balas Kyu dengan ejekan.

            “Hmm, begitukah? Itu baru pemanasan. Aku hanya bermain – main sebentar denganmu, sebab pertarungan tanpa permainan rasanya tidak seru.”

            “Huh, mau berdalih?” Kyu mencoba strategi baru, berharap bisa berhasil membuat sang ksatria kehilangan konsentrasi. “Katakan saja kau tidak mampu menyaingiku.”

            “Menyaingimu? Tentu saja, bodohnya aku!”

            Sang ksatria menyilangkan kedua pedangnya.

            “Jujur saja, aku tidak secepat kau.” Sang ksatria melanjutkan. Namun ia sudah hilang dari pandangan, dan muncul di belakang Kyu. “Aku ingin mempelajarinya darimu.”

             Menyadari musuh membelakanginya, Kyu berbalik dan menyerang Yvain, tapi lagi – lagi sang ksatria menghilang.

            ...... lalu muncul di di samping kanan.

            “Jadi akan kuperlihatkan kecepatanku.”

            ...... muncul di samping kirir.

            “Tapi kenapa kau tak bisa membaca gerakanku?”

            ..... muncul di depan, diiringi tebasan pedangnya yang telak mengenai Kyu.

            “Karena aku ini memang cepat.”

            Kyu terpental sejauh sepuluh meter, nyaris jatuh ke jurang bertombak. Ia berdiri sembari menahan rasa sakit akibat pukulan keras barusan.

            “Itulah aku. Sang singa.”

            Ia lumayan kuat, gumam Kyu dalam hati. Aku harus berhati – hati agar tak terkena serangan tiba – tibanya. Tidak ada waktu untuk main – main, aku harus mengalahkannya.
            Ia mengeluarkan surat gulungan dalam lengan bajunya. Surat gulungan berwarna hijau, jurus andalannya.

            “Oh ya, mengenai tuduhan miringmu kepadaku,” lanjut sang ksatria setelah terdiam cukup lama. “Yang menculik temanmu itu adalah Lancelot dan Gawain. Aku sama sekali tak terlibat soal itu. Tapi begitulah Magnieval, selalu bekerja tuntas. Jadi kami sedikit main – main dengan menyerang kalian. Sebab penghalang keberhasilan misi kami adalah musuh kami, siapapun orangnya.”

            Selama Yvain berbicara, Kyu melepas segel suratnya lalu berkonsentrasi memusatkan energinya ke seluruh tubuh. Sang ksatria menyadari sekaligus mengetahui hal itu. Ia bisa merasakan energi sihir mengalir aktif di tubuh Kyu.

            “Itukah senjata pamungkasmu?” sang ksatria melirik surat gulungan hijau di tangan Kyu.

            “Kau akan tahu segera.”

            Kyu menarik surat gulungan itu, di dalamnya berderet tulisan rune yang terpisah satu – satu. Kemudian tulisan - tulisan itu bercahaya keluar dari surat gulungan dan berubah bentuk menjadi puluhan pedang. Pedang – pedang itu mengarah langsung ke arah sang ksatria.

            “Menarilah pedang – pedangku,” teriak Kyu. “Dance of Cyclone.

            Segera puluhan pedang terbang menuju Yvain. Semuanya, meleset! Bukan, tidak meleset. Hanya saja pedang – pedang itu kurang cepat sehingga tak satupun melukai sang ksatria.

            Sebab, Yvain telah berpindah di samping Kyu.

            “Kau pikir pedang terbang bisa melumpuhkanku?”

            Sang ksatria membaca jurus Kyu, tapi tidak menyadari strateginya. Kyu memanggil sedikit dari senjatanya, yang sebagian besar masih tersegel dalam surat gulungan. Seketika keluar puluhan pedang lain begitu sang ksatria mendekat.

            “Itu belum semua,” kata Kyu sambil menyeringai. Sang ksatria terlalu dekat dengan pedang – pedang Kyu, dan tak sempat menghindar. “Berputarlah, Spinning Slash.”

            Terjadi benturan antara zirah emas dengan pedang – pedang perak. Sang ksatria bertahan dengan menyilangkan tangan ke depan. Ia menjauh ketika putaran pedang itu semakin kuat ditambah lagi pertahanannya yang berangsur – angsur melemah.

            “Hebat,” puji Yvain begitu melihat zirahnya tergores. “Baru kali ini aku bertemu musuh yang sepadan. Menarik!”

            Sang ksatria menarik kedua pedangnya, kemudian bagai angin ia menyerang Kyu dengan gerakan kilat yang sulit dilihat mata telanjang. Serangan bertubi – tubi ditujukan kepada Kyu, yang saat ini memilih dalam posisi bertahan. Saking cepatnya, ia memecah konsentrasi, antara membaca keberadaan dengan menyesuaikan gerak tubuh. Sayangnya pada titik dimana ia kesusahan memusatkan pikiran pada dua sisi itu, pertahanannya terbuka. Kesempatan bagus bagi sang ksatria untuk melumpuhkannya.
            Satu tendangan keras mengenai wajah Kyu, begitu kuatnya hingga ia terpental dan jatuh dengan kepala mencium lantai duluan. Yvain menampakkan diri sambil menyeringai lebar.

            “itu masih belum seberapa. Aku belum mengeluarkan sedikitpun jurusku.”

            Menghapus lelehan darah yang keluar dari mulutnya, Kyu bangkit berdiri. “Kali ini aku tidak akan main – main,” serunya. Lalu muncullah puluhan sabit dalam berbagai ukuran dan variasi bentuk mengelilinginya, membentuk formasi melingkar. “Datanglah cahaya kegelapan, Circle of Death.”

            Segera puluhan sabit itu berputar secara vetikal dan melesat menuju sang ksatria, yang menyambutnya dengan senyum datar.

            “Cross Impact.”

            Cahaya emas menabrak lingkaran sabit itu dan menghancurkannya. Seketika  gelombang udara yang dihasilkan oleh tabrakan itu menyebar ke sepenjuru ruangan, melemparkan serpihan – serpihan senjata yang hancur akibat energi dahsyat tersebut.

            “A-apa?”

            Masih terkesima menatap kedahsyatan jurus itu, Kyu tidak menyadari kehadiran Yvain yang sudah berdiri di hadapannya.

            “Kutunjukkan tarian baru untukmu,” bisik sang ksatria, bersiap – siap melanjarkan jurus berikutnya. “Streght of Punishment – Triangle Dark Hole!”

            Ribuan tebasan pedang melayang mengenai tubuh Kyu. Ia terlambat mempertahankan diri, namun itu percuma sebab serangan itu meremukkan apapun yang dilewatinya, bahkan gelombang jurus itu membekas di dinding di belakang Kyu. Kyu terkoyak, darah tercurah dari mulutnya dalam jumlah banyak, menghasilkan efek sadistik yang menyeramkan. Lawannya tak mengenal ampun, dan begitulah ciri khas ksatria singa.

            “Hmm, sudah selesai,” seru Yvain melihat lawannya terkulai tak berdaya. “Aku mengharapkan pertarungan yang seru. Dan, seperti biasa, yang kudapat hanya petarung rendahan sepertimu. Aku memang terlalu mengharapkan hal yang mustahil.”

            Sang ksatria berbalik meninggalkan samurai putih yang sedang sekarat. Ketika baru mencapai beberapa langkah, sebuah pedang melesat cepat ke arahnya, tapi ia bisa menepisnya dengan halauan pedang. Ia berbalik lagi dan mendapati samurai yang berdiri, memegang surat gulungan berwarna kuning sambil terengah mengatur napas.

            “Wah, wah, tampaknya kata – kataku barusan telah mengembalikan semangat bertarungmu lagi.”

            “Aku masih bisa bertarung,” sentak Kyu, membuka surat gulungannya sebari menatap tajam ke arah Yvain. “Dan jangan remehkan aku.”

            “Oh, kau masih ingin mencoba terapi penyiksaan? Dasar sampah!”

            Yvain berlari seraya mempersiapkan kedua pedangnya, sedangkan Kyu melompat ke atas dengan menarik surat gulungannya sepanjang beberapa meter. Ia merapal segel sihir dan memutar surat itu. Seketika keluar ribuan tombak yang mengarah langsung ke sang ksatria.

            “Spearstorm!”
            Dengan cepat tombak – tombak itu melaju menuju sasarannya. Tapi sang ksatria berhasil menghindar dari hujan tombak itu. Ia menyusuri setiap tombak yang menancap kemudian melompat hendak menyerang sang samurai.

            Tebasannya meleset. Kyu telah berpindah posisi, sama cepatnya seperti yang dilakukan Yvain.

            “Terima ini!” teriak Kyu seraya melemparkan beberapa tombak lagi ke arah Yvain.

            “Percuma saja!”

            Sang ksatria menghalau serangan itu. Ia melesat menuju Kyu dan menyerangnya. Lagi – lagi Kyu menghilang.

            “Kemari kau dan lawan aku!” Teriakan sang ksatria menggema. Hasrat ingin mengalahkan lawannya mendadak terpacu sampai ke tingkat emosi yang meluap.

            Kyu melempar lagi tombak – tombaknya. Dan kali ini ditepis oleh Yvain dengan auman singa nan keras. Gelombang suaranya bahkan menggetarkan lantai bak diguncang gempa. Lantas ia menghampiri samurai putih diselingi gesekan pedang yang mengenai ubin. Dan Kyu melompat, memanggil sisa tombak pada surat gulungannya sambil berseru :

            “Akan kutunjukkan kekuatanku yang sesungguhnya!”

            Bagai hujan, ratusan tombak jatuh tepat ke bawah, menuju Yvain yang berdiri melihat lawannya ke atas. Tombak – tombak itu mengenai sasaran. Petarung berzirah emas seakan tertimbun hujaman tongkat bermata runcing.

            Sepertinya seranganku yang terakhir mengenainya telak, gumam Kyu. Ia mendekat, memastikan prasangkanya. Tapi ketika mencapai jarak cukup dekat, sesuatu mengenyahkan tombak – tombak yang tertancap dan menerbangkannya. Suatu energi hasil luapan emosi dan kekesalan serta keinginan untuk menghancurkan. Yvain bangkit dengan wajah dipenuhi kemarahan. Matanya berkilat putih, otot – ototnya menegang. Semua membaur dalam nafsu membunuh yang teramat kuat.

            “Aku muak sekarang! Tak ada ampun bagimu, samurai! Hadapilah kematianmu!”

            Sang ksatria, tak kasat mata, tiba – tiba muncul di hadapan Kyu dan mulai menyerang membabi buta. Seakan mesin petarung yang haus duel, sang ksatria tak memberi sedikit kesempatan kepada lawannya. Tendangan, pukulan, tendangan, pukulan, tendangan lagi, pukulan lagi..., bersatu menjadi sebuah irama serang yang mematikan. Kyu tidak bisa menghindar lagi. Selagi Yvain menyerang, ia tak berkutik.

            “Matilah kau!”

            Pukulan terakhir diarahkan ke wajah Kyu. Tubuh Kyu melesat jauh kemudian terpantul beberapa kali hingga mendarat dengan punggung menghadap ke langit. Sang ksatria meraung seolah ia baru saja memenangkan pertandingan.

            “Akulah yang paling kuat!”

            Petir menggelegar kembali, diiringin tetes – tetes air yang berlanjut menjadi hujan. Langit semakin menghitam, kelam nan sedih. Kyu masih tersadar, namun kedua matanya menatap samar – samar. Ia hampir pingsan. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ksatria berzirah emas ternyata terlampau kuat baginya. Ia teringat akan masa lalunya, masa lalu suram yang sebenarnya ingin ia lupakan. Entah mengapa kenangan itu muncul di saat seperti ini. Merasa diri tak berguna, dikucilkan, dan tak dianggap. Ia merasa kecil, tak pantas di mata orang lain. Kemudian...

            Berjanjilah kau akan selamat. Berjanjilah, Kyu!

            Kata – kata May terngiang di kepalanya. Lalu disusul dengan suara dari rekan – rekannya.

            Aku yakin kau bisa...
            Ray!
            Tunjukkan kehebatanmu...
            Ven!
            Kita ini teman...
            DAN!

            Teman – teman, ya, ia tidak sendirian lagi. Ia punya teman, dan teman – temannya percaya sepenuhnya kepadanya. Apa jadinya kalau ia menyerah di sini? Ia dibutuhkan, ia bagian dari anggota. Dan karenanya, ia harus bisa mengalahkan sang ksatria emas, demi menyelamatkan Dan.

            Sang ksatria tercengang begitu melihat Kyu mencoba bangkit.

            “Ti-tidak mungkin! Harusnya kau sudah...”

            “Benar. Aku.... yang s-sampah... ini.... harusnya... su-sudah mati.... dari t-tadi,” kata Kyu, menahan sakit. “tapi.... aku... yang... sampah ini.... dipercaya.... oleh teman – temanku... “
            “kau tetap sampah! Sekali sampah, tetap sampah!”

            “Yaa, aku me-memang sampah.... tapi.... AKU TAK SERENDAH DIRIMU!”

            Luapan energi keluar dari tubuh Kyu, sisa energi yang dimilikinya.

            “AKU TIDAK AKAN MEMAAFKANMU!”

            Mendengar itu, sang ksatria menjadi gentar. Ia kaget saat sang samurai muncul di hadapannya tiba – tiba. Dengan segala kekuatan yang masih dimiliki, Kyu menyerang balik.

            Tebasan pedang terus – menerus merajam tubuh sang ksatria. Bahkan membuat zirahnya mula – mula tergores, lalu pecah seketika. Karena tak ada lagi pelindung di tubuhnya, Yvain menerima serangan itu hingga seluruh tubuhnya terkoyak. Serangan terakhir merupakan kombinasi antara kekuatan dengan kecepatan memainkan pedang, sehingga membuat lawan tak berkutik.

            Saat Kyu menyarungkan kembali pedangnya, sang ksatria merebah ke lantai.

            “K-kau.... hebat.... s-s-samurai...” setelah berkata demikian, sang ksatria pingsan.

            Ditatapnya ksatria singa itu. Kyu merasakan kekuatan yang melebihi kemampuannya saat ini. Bukan karena kehendaknya, melainkan semangat dan kepercayaan yang diberikan teman – temannya kepadanya.

            Kyu menangs sejadinya. Bulir – bulir air mata menetes ketika ia teringat rekan – rekannya, terutama Dan.

            Kita ini teman...

            “Terima, terima kasih!” ucapnya sambil menutup kedua mata.

            Kemudian ia jatuh, dan kehilangan kesadaran. Dalam keadaan itu, ia tersenyum : senyuman sukacita.

            Sementara langit berhenti menangis. Tinggal menyisakan dinginnya udara, menciptakan suasana hening pada menara singa emas.

.     .     .

           

           
             
             

1 komentar: