Desember 12, 2011

Whiterless Rose



Morgand Town, Eastern Sieghard

Wednesday, October 12th C146



          Seperti biasa, sore menjelang malam adalah suasana paling nyaman untuk melepas lelah setelah bekerja seharian. Langit jingga menyeruak di horizon barat  menyebar hingga horizon timur. Perlahan angin berhembus menguris panasnya udara dari pancaran mentari siang, sejuk nan sepoi. Sepanjang jalan hanya terlihat lalu lalang pejalan kaki yang hendak kembali ke rumah, atau sekadar mondar – mandir menghabiskan akhir hari dengan melakukan gerakan ringan sebagai upaya merelaksasikan otak. Tapi, benarkah dengan itu otak bisa jernih seperti semula? Jawabannya ada pada masing – masing pandangan orang.

          Meski begitu, Ada satu tempat yang ramai dikunjungi banyak pelanggan. Ya, pelanggan. Sebab tempat itu mirip restoran, semacam gedung dengan dekorasi seperti ruang makan ala rumah tinggal. Namun tempat itu bukanlah restoran.
       Seperti bank, atau koperasi, hanya sistemnya menggunakan prinsip sama-untung. Itu berarti antara pihak pelanggan dengan pihak agensi mendapat kepuasan sama rata, tanpa adanya kerugian sepihak. Dan penawaran yang diberikan pun tidak main – main, begitu menggiurkan. Namun, tidak semua hal bisa didapat dengan mudah. Ada syaratnya, dan tentu saja lumayan berat. Anehnya, para pelanggan menganggap hal itu sebatas tantangan saja, hingga pada tingkat tertentu kewarasan mereka hilang akibat keinginan sesaat mereka yang sangat diimpikan untuk diwujudkan. Begitulah, dari sedikit pelanggan kemudian membengkak jadi ribuan, mulai dari ujung barat sampai ujung timur, semua berhambur ingin impiannya dikabulkan.

          Gedung, tempat transaksi menggiurkan itu, terletak di ujung utara kota, dekat dengan pelabuhan. Ini dimaksudkan agar para pelancong bisa mendatanginya melalui jalur darat dan air. Kalau dilihat secara spesifik, gedung itu bentuknya mengecil ke atas, mirip dua balok kecil dan besar bertumpuk menjadi satu. Di lantai dua, berkibar bendera lambang pedang bersayap dengan dua benda magis di kanan dan kirinya. Tepat pada atap lantai satu, terpasang plakat besar bertuliskan : Pawnel Universio.



          Mohon perhatian,

          Kepada para pelanggan yang terhormat...



          Dari dalam gedung, terdengar teriakan lantang dari cewek berdandan layaknya pelayan kelas eksklusif. Ia menggunakan megaphone supaya terdengar hingga luar ruangan.



          Dimohon untuk berbaris dengan rapi. Kami tidak akan melayani anda sekalian bila masih terdapat barisan terobos yang main cepat sendiri.



          Maksud hati ingin menenteramkan kondisi pegadaian yang semakin membrutal, namun apadaya arahan itu hanya menjadi gumaman pelan yang tertelan oleh lautan manusia. Rena menundukkan kepala dan menutup mata, kemudian dengan pisau yang digenggamnya......



          BARIS YANG RAPI, MANUSIA SIALAN!



          Dilemparkannya pisau itu tepat ke arah salah seorang pelanggan berwajah keriput. Lemparan meleset, hanya sepersekian inci dari pelipis si keriput – sebut saja seperti itu – dan menancap di dinding. Semua mata tertuju pada laju pisau, kemudian berpaling ke si keriput. Wajah si keriput mendadak pucat, keringat membanjiri seluruh tubuhnya. Hal berikutnya yang terjadi adalah, si keriput tersungkur seakan otot – otot tubuhnya melemah, lalu pingsan.



          Melihat pemandangan mendebarkan itu serta pisau kedua yang telah disiapkan si Asisten pegadaian, semua orang berhamburan satu per satu berbaris. Tak peduli mereka di urutan berapa, pokoknya selamatkan nyawa dulu, karena bisa jadi pisau kedua bakal menumpahkan seluruh isi kepala mereka.



          Nah, ini lebih baik.



          Sesuai janji, Rena melayani para pelanggan penuh keramahtamahan, meski timbal baliknya adalah rasa tertekan sekaligus ketakutan amat sangat sampai – sampai setiap kata yang diucapkan adalah suatu siksaan. Tapi Rena mencoba tersenyum, dan sesekali, menghibur dengan dendangan lagu atau gurauan yang dianggapnya lucu. Dan tentu saja, hasilnya nihil.



          Begitu pelanggan kedua puluh menghilang dari pandangan,....



          Dubrakk!



          Tap tap tap tap tap....



          “Minggir!”

          “Kau yang harusnya minggir!”

          “Tidak, akulah yang akan mendapatkannya terlebih dulu!”

          “Tidak bisa, akulah cinta sejatinya! Kau tak akan bisa merebutnya dariku!”



          Dua pemuda tergesa – gesa menghampiri meja resepsionis. Keduanya terengah – engah, mengatur napas sambil memukuli satu sama lain. Pelanggan lain menyaksikan adegan perkelahian itu seraya merasakan degup jantung mereka yang terasa kencang, bahkan menghindari hal – hal yang tidak diinginkan dengan tiarap. Atau berjongkok.



          “Maaf, tuan – tuan, tapi anda berdua harus...”



          “Diam kau, cerewet!” teriak mereka berdua bebarengan.



          Mendengar itu, semua orang berlari mencari perlindungan aman, sebab kegaduhan ini tidak bisa diampuni si Asisten.



           “Kubilang.... BERBARIS YANG RAPIIII!”



          Dua pukulan melayang dari atas kepala dua pemuda itu. Sontak mereka jatuh ke lantai diiringi bunyi bedebam yang sangat keras.



          “Enyahlah dari hadapanku dan berbaris seperti yang lainnya!”



          “Auw, tapi kami tak bisa menunggu selama itu,” balas pemuda berambut landak seraya memegangi belakang kepala. “Ada masalah yang harus kami selesaikan.”



          “Itu benar,” sambung pemuda berkulit putih. “Ini masalah antar pria.”

          “Hoo, begitukah?” Rena menyipitkan mat, memandang tajam kepada dua pemuda itu. “Aku tak peduli. Kalian harus antri, SEKARANG!”



          “Kami mohon, ini sangat mendesak!” pinta pemuda landak.



          “Kukatakan sekali lagi dan yang terakhir kalinya, cepat An – “



          “Ini tentang masalah cinta!”



          ...... Rena menelengkan kepala.



          “Cinta?”



          “Ya ya, benar, ini soal cinta!”



          Wajah Rena sedikit melunak, namun masih terlihat sadis. Ia melirik ke pelanggan lain yang bersembunyi di berbagai sudut ruangan sambil bergidik ketakutan.



          “Hmm, karena aku agak bosan menghibur pelanggan yang berhati ciut, permintaan kalian kululuskan. Jadi, apa yang kalian inginkan dari pegadaian ini?”



          “Aku ingin kekasihku dihidupkan kembali.”



          “Kekasih? Kau ingin kekasihmu dibangkitkan dari mati? Aah, baiklah. Akan aku urus dokumennya dulu... “



          “Siapa bilang dia kekasihmu?” sentak pemuda putih melotot ke pemuda landak. “Jelas – jelas dia adalah kekasihku. Kau bukanlah apa – apa selain pengacau hubungan kami?”



          “Apa katamu?” pemuda landak naik pitam. “Kau itu sampah cinta, pembual, biang onar, kaulah yang mengganggu masa indah kami.”



          “Diam kau, landak busuk!”



          “Kau yang harusnya diam, sipit bawel!”



          “HENTIKAN DEBAT KONYOL KALIAN, SETAN BUDUK!”



          Pukulan berikutnya mengenai wajah mereka. Keduanya terpental hingga ke tengah – tengah ruangan. Pelanggan lain semakin gemetaran sebab gedung pegadaian kian memanas. Namun anehnya, sang manager masih asyik di ruang pribadinya, tak terganggu dengan keadaan tersebut.



          “Sekarang isi formulir ini,” kata Rena sembari menyerahkan secarik kertas putih kepada dua pemuda itu. “isi dengan benar, kemudian pegadaian akan mengabulkan keinginan kalian.”



          Dua pemuda itu cepat – cepat menarik kertas itu, membacanya perlahan, lalu mengisinya sesuai perintah yang tertulis. Setelah menandatangani formulir itu, Rena berbalik ke meja resepsionis dan mengambil sebuah tabung berisi benda magis berupa satu bunga mawar.



          “Kalian ingin kekasih kalian dibangkitkan? Baik, akan kami kabulkan. Namun ada syarat tertentu yang harus kalian penuhi. Bunga dalam tabung ini adalah mawar Whiterless, bunga yang mampu menghidupkan yang telah tiada. Benda magis yang hanya terdapat di belahan dunia tertentu. Satu bunga ini hanya bisa menghidupkan satu orang mati saja. Dan sepertinya gadis yang kalian cintai adalah sama.”



          Rena menambahkan, “Tidak mungkin satu gadis mencintai dua pemuda. Oleh karena itu, salah satu di antara kalian harus mengorbankan jiwa demi membangkitkan gadis yang kalian maksud. Bagaimana?”



          Kedua pemuda itu saling tatap. Sederhana saja, mereka hanya ingin si gadis hidup, tanpa mengorbankan apapun.



          “Begitu sulitkah syaratnya sampai – sampai kalian membisu?” lanjut Rena. “Aku tidak akan bertele – tele. Yang kumaksud itu adalah... duel. Duel memperebutkan jiwa si gadis pujaan hati kalian.”



          Kedua pemuda itu kini dipenuhi luapan semangat. Pertarungan hati, demi mendapatkan kembali cinta sejati mereka.



          “Kami terima.” Jawab mereka serempak.



          “Oke. Peraturannya sederhana, kalian akan berduel sampai mati. Bila bisa membunuh lawan, akan menjadi pemenangnya. Siap?”



          Pemuda landak dan pemuda putih mundur beberapa langkah, memberi ruang kosong untuk tempat duel. Para pelanggan mempersiapkan segala sesuatu demi keselamatan masing – masing. Rena merentangkan bendera bersiap memberi aba – aba.



          “Baik. Leon, pemuda landak dan, Ralf, pemuda putih, duel..... DIMULAI!”



          Kedua petarung berlari hendak memberikan serangan kepada masing – masing lawan. Pertarungan berjalan layaknya duel tinju, para petarung saling menyerang berusaha melukai lawan dengan kepalan tangan sekuat tenaga. Beberapa menit berlalu, dan wajah mereka penuh lumuran darah. Bahkan pelanggan – pelanggan lain yang sebelumnya ketakutan malah menyoraki aksi brutal mereka.



          “Hajar dia!”

          “Pukul sisi kirinya!”

          “Jangan beri ampun, pria landak!”

          “Hati – hati, dada kananmu!”

          “Buat dia berdarah, pria putih manis!”           



           Ralf, si pemuda berkulit putih, berbalik menatap pelanggan yang mengatakan demikian. “Jangan asal bicara kau.” Teriaknya. Konsentrasinya teralih, dan lawannya hendak menyerang.



          “Awas, belakangmu!”



          Terlambat. Pukulan dua tangan tepat mengenai kepalanya. Ia jatuh tersungkur, memberikan kesempatan bagi Leon untuk melancarkan serangan beruntun.



          “Mati kau!”



          Pertama wajah, kemudian dada, perut, dan kembali ke kepala. Tanpa ampun, Leon menghabisi Ralf dengan penuh kebencian. Dalam hati, ia ingin segera bertemu gadis pujaannya. Mengalahkan Ralf, itulah caranya.



          Ralf tak berkutik. Darah segar mengalir ke semua bagian tubuhnya. Wajahnya pucat pasi. Ia kalah.



          “YEEEEAAAAAA.....!”



          Teriakan Leon membahana, mengakhirir duel maut itu. Kemudian ratusan orang bersorak atas kemenangannya.



          “Yee, hidup pria landak!”

          “Menaaaaang!”

          “Hebaat!”



          Melihat satu kontestan yang masih berdiri, Rena menghampirinya seraya bertepuk tangan, tentu dengan membawa bunga magis itu.



          “Wah, hebat. Kau telah tunjukkan kepadaku bahwa kau layak mendapat hadiah ini,” katanya. Lalu ia menyerahkan bunga whiterless kepada Leon. “Ambilah, kau pantas bertemu cinta sejatimu.”



          “Terima kasih.” Jawab Leon



          “Tapi kau boleh menggunakannya di luar. Jangan di sini.”



          “Baik, aku mengerti.”



          Leon beranjak dari tempatnya, dan pergi meninggalkan rumah pegadaian.



          Rena mendekati Ralf yang tak berdaya, lalu berjongkok di sampingnya. Ia meletakkan tangan di dahi si pemuda dan, menarik setangkai bunga mawar yang persis sama dengan bunga magis whiterless.



          “Hmm, bunga yang langka.”



          Ia meninggalkan mayat Ralf yang perlahan hilang bagai debu di lantai, kembali ke meja resepsionis seraya mengenakan topi asisten pegadaian.



          “Siapa berikutnya?”  



         

         



         







0 komentar:

Posting Komentar