Morgand Town, Eastern Sieghard
Wednesday, October 12th C146
Seperti biasa, sore menjelang malam
adalah suasana paling nyaman untuk melepas lelah setelah bekerja seharian.
Langit jingga menyeruak di horizon barat
menyebar hingga horizon timur. Perlahan angin berhembus menguris panasnya
udara dari pancaran mentari siang, sejuk nan sepoi. Sepanjang jalan hanya
terlihat lalu lalang pejalan kaki yang hendak kembali ke rumah, atau sekadar
mondar – mandir menghabiskan akhir hari dengan melakukan gerakan ringan sebagai
upaya merelaksasikan otak. Tapi, benarkah dengan itu otak bisa jernih seperti
semula? Jawabannya ada pada masing – masing pandangan orang.
Meski begitu, Ada satu tempat yang
ramai dikunjungi banyak pelanggan. Ya, pelanggan. Sebab tempat itu mirip
restoran, semacam gedung dengan dekorasi seperti ruang makan ala rumah tinggal.
Namun tempat itu bukanlah restoran.
Seperti bank, atau koperasi, hanya
sistemnya menggunakan prinsip sama-untung. Itu berarti antara pihak pelanggan
dengan pihak agensi mendapat kepuasan sama rata, tanpa adanya kerugian sepihak.
Dan penawaran yang diberikan pun tidak main – main, begitu menggiurkan. Namun,
tidak semua hal bisa didapat dengan mudah. Ada syaratnya, dan tentu saja
lumayan berat. Anehnya, para pelanggan menganggap hal itu sebatas tantangan
saja, hingga pada tingkat tertentu kewarasan mereka hilang akibat keinginan
sesaat mereka yang sangat diimpikan untuk diwujudkan. Begitulah, dari sedikit
pelanggan kemudian membengkak jadi ribuan, mulai dari ujung barat sampai ujung
timur, semua berhambur ingin impiannya dikabulkan.
Gedung, tempat transaksi menggiurkan
itu, terletak di ujung utara kota, dekat dengan pelabuhan. Ini dimaksudkan agar
para pelancong bisa mendatanginya melalui jalur darat dan air. Kalau dilihat
secara spesifik, gedung itu bentuknya mengecil ke atas, mirip dua balok kecil
dan besar bertumpuk menjadi satu. Di lantai dua, berkibar bendera lambang
pedang bersayap dengan dua benda magis di kanan dan kirinya. Tepat pada atap
lantai satu, terpasang plakat besar bertuliskan : Pawnel Universio.
Mohon
perhatian,
Kepada
para pelanggan yang terhormat...
Dari
dalam gedung, terdengar teriakan lantang dari cewek berdandan layaknya pelayan
kelas eksklusif. Ia menggunakan megaphone supaya terdengar hingga luar ruangan.
Dimohon
untuk berbaris dengan rapi. Kami tidak akan melayani anda sekalian bila masih
terdapat barisan terobos yang main cepat sendiri.
Maksud
hati ingin menenteramkan kondisi pegadaian yang semakin membrutal, namun
apadaya arahan itu hanya menjadi gumaman pelan yang tertelan oleh lautan
manusia. Rena menundukkan kepala dan menutup mata, kemudian dengan pisau yang
digenggamnya......
BARIS
YANG RAPI, MANUSIA SIALAN!
Dilemparkannya
pisau itu tepat ke arah salah seorang pelanggan berwajah keriput. Lemparan
meleset, hanya sepersekian inci dari pelipis si keriput – sebut saja seperti
itu – dan menancap di dinding. Semua mata tertuju pada laju pisau, kemudian
berpaling ke si keriput. Wajah si keriput mendadak pucat, keringat membanjiri
seluruh tubuhnya. Hal berikutnya yang terjadi adalah, si keriput tersungkur
seakan otot – otot tubuhnya melemah, lalu pingsan.
Melihat pemandangan mendebarkan itu
serta pisau kedua yang telah disiapkan si Asisten pegadaian, semua orang
berhamburan satu per satu berbaris. Tak peduli mereka di urutan berapa,
pokoknya selamatkan nyawa dulu, karena bisa jadi pisau kedua bakal menumpahkan
seluruh isi kepala mereka.
Nah,
ini lebih baik.
Sesuai janji, Rena melayani para
pelanggan penuh keramahtamahan, meski timbal baliknya adalah rasa tertekan
sekaligus ketakutan amat sangat sampai – sampai setiap kata yang diucapkan
adalah suatu siksaan. Tapi Rena mencoba tersenyum, dan sesekali, menghibur dengan
dendangan lagu atau gurauan yang dianggapnya lucu. Dan tentu saja, hasilnya
nihil.
Begitu pelanggan kedua puluh
menghilang dari pandangan,....
Dubrakk!
Tap tap tap tap tap....
“Minggir!”
“Kau yang harusnya minggir!”
“Tidak, akulah yang akan
mendapatkannya terlebih dulu!”
“Tidak bisa, akulah cinta sejatinya!
Kau tak akan bisa merebutnya dariku!”
Dua pemuda tergesa – gesa menghampiri
meja resepsionis. Keduanya terengah – engah, mengatur napas sambil memukuli
satu sama lain. Pelanggan lain menyaksikan adegan perkelahian itu seraya
merasakan degup jantung mereka yang terasa kencang, bahkan menghindari hal –
hal yang tidak diinginkan dengan tiarap. Atau berjongkok.
“Maaf, tuan – tuan, tapi anda berdua
harus...”
“Diam
kau, cerewet!” teriak mereka berdua bebarengan.
Mendengar itu, semua orang berlari
mencari perlindungan aman, sebab kegaduhan ini tidak bisa diampuni si Asisten.
“Kubilang.... BERBARIS YANG RAPIIII!”
Dua pukulan melayang dari atas kepala
dua pemuda itu. Sontak mereka jatuh ke lantai diiringi bunyi bedebam yang
sangat keras.
“Enyahlah dari hadapanku dan berbaris
seperti yang lainnya!”
“Auw, tapi kami tak bisa menunggu
selama itu,” balas pemuda berambut landak seraya memegangi belakang kepala.
“Ada masalah yang harus kami selesaikan.”
“Itu benar,” sambung pemuda berkulit
putih. “Ini masalah antar pria.”
“Hoo, begitukah?” Rena menyipitkan
mat, memandang tajam kepada dua pemuda itu. “Aku tak peduli. Kalian harus
antri, SEKARANG!”
“Kami mohon, ini sangat mendesak!”
pinta pemuda landak.
“Kukatakan sekali lagi dan yang
terakhir kalinya, cepat An – “
“Ini tentang masalah cinta!”
...... Rena menelengkan kepala.
“Cinta?”
“Ya ya, benar, ini soal cinta!”
Wajah Rena sedikit melunak, namun
masih terlihat sadis. Ia melirik ke pelanggan lain yang bersembunyi di berbagai
sudut ruangan sambil bergidik ketakutan.
“Hmm, karena aku agak bosan menghibur
pelanggan yang berhati ciut, permintaan kalian kululuskan. Jadi, apa yang
kalian inginkan dari pegadaian ini?”
“Aku ingin kekasihku dihidupkan
kembali.”
“Kekasih? Kau ingin kekasihmu
dibangkitkan dari mati? Aah, baiklah. Akan aku urus dokumennya dulu... “
“Siapa bilang dia kekasihmu?” sentak
pemuda putih melotot ke pemuda landak. “Jelas – jelas dia adalah kekasihku. Kau
bukanlah apa – apa selain pengacau hubungan kami?”
“Apa katamu?” pemuda landak naik
pitam. “Kau itu sampah cinta, pembual, biang onar, kaulah yang mengganggu masa
indah kami.”
“Diam kau, landak busuk!”
“Kau yang harusnya diam, sipit bawel!”
“HENTIKAN DEBAT KONYOL KALIAN, SETAN
BUDUK!”
Pukulan berikutnya mengenai wajah
mereka. Keduanya terpental hingga ke tengah – tengah ruangan. Pelanggan lain
semakin gemetaran sebab gedung pegadaian kian memanas. Namun anehnya, sang
manager masih asyik di ruang pribadinya, tak terganggu dengan keadaan tersebut.
“Sekarang isi formulir ini,” kata Rena
sembari menyerahkan secarik kertas putih kepada dua pemuda itu. “isi dengan
benar, kemudian pegadaian akan mengabulkan keinginan kalian.”
Dua pemuda itu cepat – cepat menarik
kertas itu, membacanya perlahan, lalu mengisinya sesuai perintah yang tertulis.
Setelah menandatangani formulir itu, Rena berbalik ke meja resepsionis dan
mengambil sebuah tabung berisi benda magis berupa satu bunga mawar.
“Kalian ingin kekasih kalian
dibangkitkan? Baik, akan kami kabulkan. Namun ada syarat tertentu yang harus
kalian penuhi. Bunga dalam tabung ini adalah mawar Whiterless, bunga yang mampu
menghidupkan yang telah tiada. Benda magis yang hanya terdapat di belahan dunia
tertentu. Satu bunga ini hanya bisa menghidupkan satu orang mati saja. Dan
sepertinya gadis yang kalian cintai adalah sama.”
Rena menambahkan, “Tidak mungkin satu
gadis mencintai dua pemuda. Oleh karena itu, salah satu di antara kalian harus
mengorbankan jiwa demi membangkitkan gadis yang kalian maksud. Bagaimana?”
Kedua pemuda itu saling tatap.
Sederhana saja, mereka hanya ingin si gadis hidup, tanpa mengorbankan apapun.
“Begitu sulitkah syaratnya sampai –
sampai kalian membisu?” lanjut Rena. “Aku tidak akan bertele – tele. Yang
kumaksud itu adalah... duel. Duel memperebutkan jiwa si gadis pujaan hati
kalian.”
Kedua pemuda itu kini dipenuhi luapan
semangat. Pertarungan hati, demi mendapatkan kembali cinta sejati mereka.
“Kami terima.” Jawab mereka serempak.
“Oke. Peraturannya sederhana, kalian
akan berduel sampai mati. Bila bisa membunuh lawan, akan menjadi pemenangnya.
Siap?”
Pemuda landak dan pemuda putih mundur
beberapa langkah, memberi ruang kosong untuk tempat duel. Para pelanggan
mempersiapkan segala sesuatu demi keselamatan masing – masing. Rena
merentangkan bendera bersiap memberi aba – aba.
“Baik. Leon, pemuda landak dan, Ralf,
pemuda putih, duel..... DIMULAI!”
Kedua petarung berlari hendak
memberikan serangan kepada masing – masing lawan. Pertarungan berjalan layaknya
duel tinju, para petarung saling menyerang berusaha melukai lawan dengan
kepalan tangan sekuat tenaga. Beberapa menit berlalu, dan wajah mereka penuh
lumuran darah. Bahkan pelanggan – pelanggan lain yang sebelumnya ketakutan
malah menyoraki aksi brutal mereka.
“Hajar dia!”
“Pukul sisi kirinya!”
“Jangan beri ampun, pria landak!”
“Hati – hati, dada kananmu!”
“Buat dia berdarah, pria putih manis!”
Ralf, si pemuda berkulit putih, berbalik
menatap pelanggan yang mengatakan demikian. “Jangan asal bicara kau.”
Teriaknya. Konsentrasinya teralih, dan lawannya hendak menyerang.
“Awas, belakangmu!”
Terlambat. Pukulan dua tangan tepat
mengenai kepalanya. Ia jatuh tersungkur, memberikan kesempatan bagi Leon untuk
melancarkan serangan beruntun.
“Mati kau!”
Pertama wajah, kemudian dada, perut,
dan kembali ke kepala. Tanpa ampun, Leon menghabisi Ralf dengan penuh
kebencian. Dalam hati, ia ingin segera bertemu gadis pujaannya. Mengalahkan
Ralf, itulah caranya.
Ralf tak berkutik. Darah segar
mengalir ke semua bagian tubuhnya. Wajahnya pucat pasi. Ia kalah.
“YEEEEAAAAAA.....!”
Teriakan Leon membahana, mengakhirir
duel maut itu. Kemudian ratusan orang bersorak atas kemenangannya.
“Yee, hidup pria landak!”
“Menaaaaang!”
“Hebaat!”
Melihat satu kontestan yang masih
berdiri, Rena menghampirinya seraya bertepuk tangan, tentu dengan membawa bunga
magis itu.
“Wah, hebat. Kau telah tunjukkan
kepadaku bahwa kau layak mendapat hadiah ini,” katanya. Lalu ia menyerahkan bunga
whiterless kepada Leon. “Ambilah, kau pantas bertemu cinta sejatimu.”
“Terima kasih.” Jawab Leon
“Tapi kau boleh menggunakannya di
luar. Jangan di sini.”
“Baik, aku mengerti.”
Leon beranjak dari tempatnya, dan
pergi meninggalkan rumah pegadaian.
Rena mendekati Ralf yang tak berdaya,
lalu berjongkok di sampingnya. Ia meletakkan tangan di dahi si pemuda dan,
menarik setangkai bunga mawar yang persis sama dengan bunga magis whiterless.
“Hmm, bunga yang langka.”
Ia meninggalkan mayat Ralf yang
perlahan hilang bagai debu di lantai, kembali ke meja resepsionis seraya
mengenakan topi asisten pegadaian.
“Siapa berikutnya?”
0 komentar:
Posting Komentar