Maret 29, 2012

Diary of a Wimpy Kid [Review]

Diary si Bocah TengilDiary si Bocah Tengil by Jeff Kinney

My rating: 3 of 5 stars


Hmm, novel kartun, percampuran antara tulisan dengan visual grafis!



Menarik nih ide bikin buku ini. Si penulis, Jeff Kinney, tidak hanya menyuguhkan tulisan sebagai pencerita, tapi juga menggunakan aneka gambar jenaka yang menyimbolkan adegan si tokoh ketika menceritakan suatu pengalaman. Untuk ide yang unik ini, aku kasih bintang lima.



Tapi mengapa aku ngasih hanya bintang tiga saja?

Hmm, mari kita lihat ulasan berikut!



Pertama-tama, idenya cukup klise. Seperti novel-novel teenlit pada umumnya yang mengisahkan kehidupan tokoh ala remaja banget yang penuh lika-liku permasalahan jati diri sampai kehidupan asmara yang, secara pribadi menurutku, sangat memuakkan. Itulah sebabnya aku tidak suka teenlit dan lebih menyukai kisah-kisah romance ala dewasa, biar sekalian vulgar :p. Sebelum baca cerita ini, aku berharap banyak nggak bakal menemukan hal begituan, ternyata aku salah. Kecewa boleh kecewa, namun penilaian masih berlanjut.



Kedua tentang gaya penulisan. Nah, ini yang paling kusuka. Mengingat kalau aku benci segala hal berbau teenlit, sang penulis sepertinya memberi bumbu rahasia pada ceritanya ini sehingga ketika membacanya, begitu enak dicerna dan mudah dipahami. Beberapa kata-kata sulit masih bisa kutelaah ke dalam bahasaku sendiri, jadi tak ada masalah. Sang tokoh yang terlalu egois dengan pemikirannya yang kekanak-kanakan, terasa menghibur. Si tokoh menganggap bahwa dia-lah yang harus diutamakan dan sering mengumpat semua hal di sekitarnya. Sifat individualisnya ini yang membuat jalan cerita jadi kelihatan sedikit menarik untuk dibaca.



Ketiga yaitu konsepnya. Gaya tulisan yang mirip dengan diary kaum hawa - sekarang kaum adam pun tak ketinggalan nulis diary - menurutku cukup bagus meski ada juga beberapa novel yang memakai konsep ini. Namun tampaknya Jeff Kinney ingin "membelokkan" anggapan tentang diary melalui sikap tokohnya yang menentang bahwa bukunya itu adalah jurnal. Agar terlihat layaknya catatan biasa, seitap kali menulis, si tooh hanya mencantumkan hari dan bulannya saja tanpa embel-embel tanggal maupun waktu. Ini mungkin merupakan cara si tokoh agar ia tak dicap "cowok feminim" atau sebangsanya, dan bisa dijadikan alasan bahwa catatannya itu adalah sebuah jurnal, bukan diary. Tapi lucunya, caranya menulis itu yang masih terlihat diary banget :D.



Keempat adalah sudut pandang. Jelas yang dipakai adalah PoV-1 (First Person Point of View). Begitulah cara kerja sebuah diary, selalu memakai perspektif "aku" sebagai penderita.



Kelima itu alur. Ini pun juga sangat jelas ditampilkan. Tak mungkin sebuah diary ditulis dengan penceritaan secara mundur. Itu terlalu impossible!:3



Terakhir, dan yang paling penting, adalah kegagalan genre. Mengapa kusebut "kegagalan"? Karena, penulis ingin memberikan sensasi comedy pada bukunya ini, dan itu sepertinya jadi genre utamanya. Namun entah kesalahannya sendiri atau pemilihan kata terjemahannya, Diary Si Bocah Tengil sama sekali tidak lucu. Walau ada beberapa adegan yang sempat membuat perutku terkocok, tapi selebihnya begitu hambar. Lagipula aku belum baca versi aslinya dalam bahasa inggris maupun melihat filmnya. Mungkin jika aku menyaksikan film dan membaca versi aslinya, aku mungkin bisa tertawa lepas :D.



Hmm, pedas juga ya ulasanku!

Tapi tiga poin terakhir itulah yang mengurangi penilaianku. Meski begitu, aku tetap memberi apresiasi penuh kepada Jeff Kinney karena ia berkontribusi penuh demi bukunya ini, dan aku sangat menghargainya.



Well, begitulah!    







View all my reviews

0 komentar:

Posting Komentar