Desember 23, 2011

The Lion Knight

            Kemanapun engkau, aku selalu besertamu
            Mendampingimu kala cahaya meredup
            Tapi janganlah bersuka akan kehadiranku
            Sebab akulah hitam dalam putihmu
            Melangkah, dan berlari
            Kemanapun engkau, bayangku membelenggumu
            Tangan ini akan merenggut pesonamu
            Melenyapkan kebahagiaanmu
            Akulah hitam dalam putihmu
            Deru nafasmu menyenangkanku
            Rohmu memuaskanku
            Menarikmu dalam tangan kegelapan
            Akulah takdirmu, takdir kelammu

Desember 12, 2011

Whiterless Rose



Morgand Town, Eastern Sieghard

Wednesday, October 12th C146



          Seperti biasa, sore menjelang malam adalah suasana paling nyaman untuk melepas lelah setelah bekerja seharian. Langit jingga menyeruak di horizon barat  menyebar hingga horizon timur. Perlahan angin berhembus menguris panasnya udara dari pancaran mentari siang, sejuk nan sepoi. Sepanjang jalan hanya terlihat lalu lalang pejalan kaki yang hendak kembali ke rumah, atau sekadar mondar – mandir menghabiskan akhir hari dengan melakukan gerakan ringan sebagai upaya merelaksasikan otak. Tapi, benarkah dengan itu otak bisa jernih seperti semula? Jawabannya ada pada masing – masing pandangan orang.

          Meski begitu, Ada satu tempat yang ramai dikunjungi banyak pelanggan. Ya, pelanggan. Sebab tempat itu mirip restoran, semacam gedung dengan dekorasi seperti ruang makan ala rumah tinggal. Namun tempat itu bukanlah restoran.

Desember 11, 2011

Ector - Vengeance

Ctarr, ctarr, ctarr!

Suara – suara setan itu terus berdengung di telingaku. Tak henti – hentinya pelatih mencambuk kakiku agar aku mau bergerak. Bukan, menari lebih tepatnya. Namun sayangnya tubuhku kepayahan dan seluruh ototku menagih untuk berhenti. Acap kali aku tertahan hanya sekedar melepas penat sesaat, cambuk berduri tajam langsung diarahkan kepadaku. Aku terus menari, menari, menari, menari...... hanya agar manusia keji itu mendapat pujian tinggi dari para penonton. Dan aku, sebagai bahan leluconnya.

Tunggu dulu, tadi aku bilang pelatih? Itu terlalu sopan. Harusnya tadi kubilang ‘Makhluk buas berkulit manusia’. Ya, lebih menakutkan dari monster manapun. Aku berani taruhan semua makhluk beradab sama sepertinya. Sebab mereka menertawakanku, bukan bersimpati layaknya ciptaan Tuhan yang lain. Mereka lebih senang melihatku menderita daripada menolongku yang semakin rapuh ini. Aku ini sahabat mereka, seharusnya mereka memperlakukanku seperti teman sejawat. Hanya karena mereka memiliki intelegensi di atasku, bukan berarti mereka semena – mena memaksaku bekerja demi mengganjal perut kosong mereka. Ini tidak adil, aku benci manusia!