Januari 20, 2013

Burung Camar

Pada pertengahan bulan Agustus di musim panas,
ketika gemawan menebarkan tirai abunya di langit,
            aku menapaki jalan pelabuhan, setengah berlari
            ditemani bergulung perkamen yang berayun resah di lenganku
Sambil tergesa, aku menuju sebuah pondok berlambang Cacudeus
            dua ular yang mencuat kepalanya,
            menantang setiap pengunjung dengan mata merah rubinya yang menyala
Namun Penguasa tak mengizinkanku tiba tepat waktu
            karena begitu hidungku mencium bau familiar ruh senyawa
            ratusan tombak hujan menghantam tanah berombak
            membuatku cepat-cepat bertepi ke bangunan terdekat
Ah sial, gerutuku dalam hati
            mengapa selalu seperti ini?
            saat pencapaian pengetahuanku mendekati realita
            selalu ada karang batu di tengah-tengah usaha
            alhasil penantian panjanglah yang kuambil, berharap pelangi segera datang

Di tengah kegundahan jiwa yang terkoyak karena kuasa alam,
            tak sengaja mataku menyaksikan pemandangan menyedihkan
            seekor burung camar hinggap di atap bangunan seberang
            setelah separuh nyawanya dipertahankan untuk melindungi separuhnya yang lain
            menantang murka mega
Aku jatuh iba melihat kejadian singkat itu
            namun kejadian berikutnya menggelitik sukma dalamku
            burung camar itu terbang kembali
            berputar bak bulan yang sumpah setia mendampingi bumi
Tak ayal diriku dihinggapi ruh ingin tahu
begitu menyaksikan tingkah aneh si burung
            mulut pun melontarkan pertanyaan jenaka,

“Kau, burung camar, sang perompak tujuh lautan,
mengapa engkau masih melayang di atas sana?
Tak terpikirkah olehmu berteduh pada pelindung hujan?”
            Tidak ada jawaban darinya
            Ia masih berputar, malah semakin tinggi kecepatannya
“Tolong jawab aku, sahabat angkasaku,
Mengapa kau lakukan hal demikian?”
           
Ia kemudian menanggapi lontaran keduaku
tubuhnya menukik sekuat bintang melesat melewati dunia malam
dan kakinya menopang tubuhnya seketika.
Kemudian ia menjawab,
            “Wahai kau, makhluk beradab, makhluk cerdas tertinggi dari segala ciptaan-Nya,
            tidak tahukah kau bahwa langit adalah rumahku?”
Aku terdiam, merenungkan ungkapannya dalam-dalam.
Lalu mulutku mengutarakan isi pikiranku lagi,
            “Memang benar rumahmu adalah langit, tapi mengapa kau tidak berteduh?
            Lihatlah Cumulus meratapi penantian panjangnya
            menunggu kembarannya menguasai takhtanya.”
Kali ini raut mukanya berubah
ia mengepakkan sayap kembali ke udara
dan persis sama waktunya, hujan semakin lebat
menembus setiap sela sayap putihnya
dan ia berceloteh,
            “O, makhluk sempurna, betapa naifnya engkau!
             Kaummu sungguh bukan pembalas budi yang penuh syukur.
            Seharusnya lidahmu yang kelu diajarkan cara berucap manis dan berbuah.”
Aku termakan kebingunganku sendiri.
Kata-katanya seolah merupakan nasehat pendeta suci biara
Namun aku tak mendapat makna perumpamaan tersebut.
            “Lihatlah wajahmu sekarang,” teriaknya seiring turunnya varetir,
            “kebebalan hati telah mengganjal mata kebenaranmu.
            Kau takut akan dunia seakan ia telah meninggalkanmu
padahal kau sendiri yang menyia-nyiakan kemurahan yang diberikannya.
Engkau diciptakan untuk mengatur alam ini,
tapi apa balasanmu begitu segala kesempurnaan diberikan atasmu?
Menguasai! Ya, menguasai dengan tongkat penindas
dan kau masih berharap Sang Hakim mengampunimu?
            Aku bersukacita atas anugerah air mata surgawi yang tercurah di tanah ini.
            Jiwaku memuliakan Sang Pemberi Hidup,
            dan ruhku penuh dengan rahmat karunia abadi.”
Aku tercekat, menggigil dalam diam
sementara kata-kata itu merajam jiwaku yang terdesak.
Dan pikiranku pun seketika terbuka.
            “Ketahuilah, saudaraku,” ucapnya,
            “tidak ada yang bisa menghentikan penghakiman atas pertiwi
            selain jiwa tulus yang mau bertobat.”
Kemudian ia melesat pergi
meninggalkanku dalam gundah perih.  

0 komentar:

Posting Komentar